A. Pendahuluan
Konsep gender merujuk pada pembahasan keperempuanan (feminisme), dan kelelakian (masculine) atau masalah jenis kelamin. Walaupun gender membahas isu kelelakian dan keperempuanan, akan tetapi pembahasannya lebih kecenderungan untuk membicarakan isu perempuan bila menyentuh isu gender. Kini telah banyak berbagai wadah yang menaungi gender untuk membincankan persoalan perempuan dan keperempuanan dari berbagai sudut.
Persoalan gender sangat luas dibicarakan, gender dibentuk oleh kelompok-kelompok pengkaji dari berbagai latar belakang sosio-budaya, agama, pendidikan dan goegrafi. Kebanyakan para penggagas gender ini dipengaruhi oleh sentimen kelompok pengkaji dan pengkritik yang seringkali melihat perempuan sebagai pihak yang didominasi dan didiskriminasi lelaki, warga kelas dua, atau insan yang dilahirkan lebih rendah dari lelaki. Oleh karena itu, lahirlah gerakan-gerakan wanita untuk membela dan menegakkan hak asasi perempuan di dunia.
Dalam beberapa keadaan, usaha memperjuangkan hak wanita merupakan perjuangan yang ulet demi mencapai keadilan dan kesamaan. Tetapi dalam banyak hal ada pihak-pihak yang memancing di air keruh untuk menyebarkan ide yang mengancam norma dan nilai keagamaan.
Sebagai penganut agama Islam, kita perlu lebih berhati-hati ketika berbicara masalah isu-isu kewanitaan supaya ia tidak bertentangan dengan syariat Islam, satu-satunya agama yang telah memberikan kebebasan kepada wanita, harga diri, serta kesamaan hak berdasarkan fitrah manusia, adalah Islam, oleh karenanya kita selaku umat Islam harus dapat memaknai arti dari sebuah kebebasan, bukan berarti melakukan kebebasan itu tanpa sebuah tanggung jawab, walau bagaimana pun juga kita hidup mempunyai aturan. Kebebasan yang disuarakan mestinya kebebasan yang tidak bertentangan dengan aturan dan norma yang ada.
B. Pengertian
Kata Gender berasala dari bahasa Inggris yang artinya "jenis Kelamin" (John. M. Echols) dan dalam Webster's New World Dictionary gender diartikan juga sebagai perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Sedangkan dalam Women's Studies Encyclopedia dijelaskan bahwa gender adalah suatu konsep cultural yang berupaya membuat perbedaan.
HT. Wilson dalam Sex and Gender
"Gender is a basis for defining the different contributions that man and women make to culture and collective life by dint of which they are as man and women" yang artinya bahwa gander sebagai suatu dasar untuk menentukan perbedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif yang sebagai akibatnya mereka menjadikan laki-laki dan perempuan. (Nasarudin Umar, 2001: 34). Elanie Showalter mengartikan gender lebih dari sekedar perbedaan antara laki-laki dan perempuan, namun dilihat dari kontruksi sosial-budaya ia lebih menekankan sebagai konsep analisis (analytic concept) yang dapat menjelaskan sesuatu.
Menski pun kata gender belum masuk dalam pembendaharaan Kamus bahasa Indonesia, istilah ini sudah lazim digunakan khususnya di kantor menteri Negara Urusan Peranan Wanita dengan ejaan "jender" yang diartikan sebagai "intrepretasi mental dalam kultur terhadap perbedaan kelamin yakni laki-laki dan perempuan". (Nasadurin Umar, 2001: 34)
Dari berbagai definisi di atas dapat disimpulkan bahwa jender merupakan suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan antara laki-laki dan perempuan baik dilihat dari jenis kelamin maupun dari sosial-budaya.
C. Sejarah Lahirnya Gerakan Feminisme
Feminisme sebagai filsafat dan gerakan, keberadaannya dapat dilacak dalam sejarah. Kelahiran gerakan feminis ini berbarengan dengan kelahiran era pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kalinya didirikan di Middelburg, sebuah kota di selatan Belanda pada tahun 1785, menjelang abad ke 19 feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatiaan dari para perempuan kulit putuh di Eropa. Perempuan di Negara-negara penjajah Eropa memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood.
Kata feminisme direaksikan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, the Subjection of Women (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme gelombang pertama.
Pada awal gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukan bahwa secara umum kaum perempuan (feminisme) merasa dirugikan dalam semua bidang, dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (masculine) terutama dalam bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih dalam bidang politik. Hak-hak kaum ini memang lebih inferior ketimbang dengan apa yang dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki di depan dimana kum laki-lakilah yang ada di luar rumah dan kaum perempuan cukup di rumah saja. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Prancis di abad ke XVIII yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan keseluruh dunia.
Suasanya demikian diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang cenderung melakukan operasi terhadap kaum perempuan. Dilingkungan agama Kristen pun ada praktek-praktek dan khotbah-khotbah yang menunjang situasi demikian, ini terlihat dalam pakta bahwa banyak gereja menolak adanya pendeta perempuan bahkan tua-tua jemaat pun hanya dapat djabat oleh kali-laki saja. Banyak hotbah-hotbah yang menempatkan perempuan sebagai mahluk yang harus 'tunduk pada suami'.
Dari latar belakang demikian di Eropa berkembang gerakan untuk menaikan derajat kaum perempuan tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik. Perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat di tahun 1792. pada tahun 1830 – 1840 sejalan terhadap pemberantasan terhadap praktek perbudakan, hak-hak kaum perempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki, dan mereka diberi kesempatan untuk ikut pendidikan dan diberi hak pilih. Sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki.
Setelah berakhirnya perang dunia kedua, ditandai dengan lahirnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajah Eropa, lahirlah feminisme gelombang kedua tahun 1960. dengan puncak diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Pada tahun ini merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut mendiami ranah politik kenegaraan.
Dalam gelombang kedua ini dipelopori oleh para feminis Prancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Algeria yang kemudian menetap di Prancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Prancis). Bersamaan dengan kelahiran dekonstruksionis.
Secara umum pada gelombang pertana dan kedua hal-hal berikut ini yang menjadi momentum perjuangannya para kaum feminis yaitu: hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak politik, peran gender, identitas gender, dan seksualitas .
C. Aliran – Aliran Feminisme
1. Feminis Liberal
Selama tahun 1980-an banyak kepemimpinan gerakan disuap dengan kedudukan-kedudukan dalam birokrasi ke pemerintahan dan akademisi untuk menempati sudut-sudut feminis. Reformasi feminis yang dipaksakan dari sistem oleh gerakan untuk mengerahkan masa, dimana geakan yang dipakai adalah partai-partai besar.
Lalu apa yang disebut dengan feminis liberar. Feminis liberal ialah pandangan untuk menempatkan perempuan yang memilki kebebasab secara penuh dan individual. Aliran ini menyatakan bahwa kebebasan dan kesamaan berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia private dan publik.
Tokoh aliran ini adalah Naomi Wolf, sebagai "feminisme kekuatan" yang meruapakan solusi. Kini perempuan telah mempunyai kekuatan dari segi pendidikan dan pendapatan dan perempuan harus terus menuntut persamaannya hak serta saat ini perempuan bebas berkehendak tanpa tergantung pada lelaki.
Feminis liberal mengusung untuk menyadarkan wanita bahwa mereka adalah golongan tertindas, pekerjaan yang dilakukan wanita di sektor domestic dikampanyekan sebagai hal yang tidak produktif dan menempatkan wanita pada posisi sub-ordinat. Akar teori ini bertumpu pada kebebasan dan rasionalitas kemampuannya sama dengan lelaki, sehingga harus diberi hak yang sama juga dengan laki-laki. Permasalahannya terletak pada produk kebijakan Negara yang bias gender. Oleh karena itu pada abad ke 18 muncul tuntutan agar perempuan mendapatkan pendidikan yang sama, di abad ke 19 banyak juga yang memperjuangkan kesamaan hak sipil dan ekonomi bagi perempuan dan pada abad 20 organisasi-organisasi perempuan mulai dibentuk untuk menentang diskriminasi seksual di bidang politik, sosial, ekonomi maupun personal .
2. Feminis Radikal
Tren ini muncul sejak pertengahan tahun 1970-an dimana aliran ini menawarkan idiologi "perjuangan sparatisme perempuan". Sejak aliran ini muncul atas kultur seksisme atau dominasi sosial, berdasarkan jenis kelamin di Barat pada tahun 1960-an, hal yang paling utama yaitu untuk melawan kekerasan seksual dan industri fornografi.
Aliran ini bertumpu pada pandangan bahwa penindasan terhadap perempuan terjadi akibat sistem patriarki. Tubuh perempuan merupakan objek utama penindasan oleh kekuasaan lelaki, oleh karena itu feminis radikal mempermasalahkan antara lain tubuh serta hak-hak reproduksi. Seksualitas termasuk "lesbianisme", seksisme, relasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan, dan dikotomi private publik "The personal is politic" menjadi gagasan terbaru yang mampu menjangkau permasalahan perempuan sampai ranah private. Karena pengalaman membongkar persoalan-persoalan private inilah Indonesia saat ini memiliki Undang-Undang RI no. 23 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga .
3. Feminis Post Modern
Post modern adalah teori yang dihasilkan dari kemundurun dan demorisasi, pembebasan gerakan perempuan pada tahun 1970-an dan kemunduran yang luas dari gerakan kiri di seluruh dunia, setelah runtuhnya komunisme di Eropa Timur uni Sovietide
Posmo- menurut anggapan mereka – adalah ide yang anti absolute dan anti otoritas, gagalnya modernitas dan pemilihan secara berbeda-beda tiap fenomena sosial karena penentangannya terhadap keragaman ilmiah dan sejarah. Mereka berpendapat bahwa gender tidak bermakna identitas atau struktur sosial.
4. Feminis Anarkis
Feminis anarkis lebih bersifat sebagai paham politik yang mencita-citakan masyarakat sosial dan menganggap negara dan laki-laki adalah sumber permasalahan yang segera mungkin harus dihancurkan.
5. Feminis Sosialis
Suatu paham yang berpendapat "Tak ada sosialisme tanpa pembebasan perempuan, tak ada pembebasan perempuan tanpa sosialisasi". Feminis sosial berjuang untuk menghapus sistem pemilikan. Lembaga perkawinan yang melegalisir pemilika pria atas harta dan pemilikan suami atas istri dihapuskan seperti ide Marx yang mendinginkan suatu masyarakat tanpa kelas, tanpa pembedaan gender.
Feminis sosial muncul sebagai kritik terhadap feminis marxis. Aliran ini mengatakan bahwa patriarki sudah muncul sebelum kapitalisme dan tetap tidak akan berubah jika kapitalisme runtuh. Kritik kapitalisme harus disertai dengan kritik dominasi atas perempuan. Ia sepaham dengan feminis marxis bahwa kapitalis merupakan sumber penindasan tehadap perempuan. Akan tetapi feminis sosial ini setuju terhadap feminis radikal yang menganggap patriarkilah yang merupakan sumber penindasan.
6. Feminis Postkolonial
Dasar pandangan ini berasal dari penolakan universalitas pengalaman perempuan. Pengalaman perempuan yang hidup di Negara dunia ketiga berbeda dengan perempuan berlatarbelakngkan dunia pertama. Perempuan dunia ketiga menanggung beban penindasan lebih berat karena selain mengalami penindasan berbasis gender mereka juga mengalami penindasan antar bangsa, suku, ras, dan agama. Dimensi kolonisme menjadi fokus utama feminisme foskolonia yang pada intinya menggugat penjajahan, baik fisik, pengetahuan, nilai-nilai, cara pandang, maupun mentalitas masyarakat.
D. Gender dalam Persektif Islam
Diskursus gender dalam agenda feminis kontempoler banyak mempokuskan pada permasalahan hak, partisipasi perempuan dalam pekerjaan, pendidikan, kebebasan seksual, maupun hak reproduksi. Dari kubu pro dan konta feminisme, dari kritikan dan kecaman yang terlontar, Islam dianataranya yang paling banyak mendapatkan banyak sorotan dalam kaitannya terhadap status dan aturan yang diberikan agama ini terhadap kaum perempuan. Hegemoni Islam terhadap perempuan muslim di negeri Islam terlihat jelas dalam kehidupan sehari-harinya, dimana kaum perempuan mendapatkan kesulitan dalam bergaul, mengekspresikan kebebasan individunya, terkungkung oleh aturan yang sangat membatasi ruang kerja atau dinamisnya, bahkan suaranyapun tidak berarti layaknya seorang warga Negara atau anggota masyarakat atau hak seorang individu.
Fenomena ini terlihat jelas di negar-negara ketiga (baca: berkembang) yang notabennya adalah Negara Islam, namun benarkah demikian? Atau justru Islam yang menginspirasi munculnya gerakan feminisme masa lalu dan menyerukan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan yang hidup dalam keadaan kronis pada masa itu?
Mendiskusikan kaitannya feminisme dan Islam tidak akan terlepas dari kehadiran al-Qur'an sebagai petunjuk bagi kita yang secara komprehensif dan lugas memaparkan hak asasi perempuan dan laki-laki yang sama, hal itu meliputu hak dalam beribadah, kerajinan, pendidikan, potensi spiritual, hak sebagai manusia, dan eksistensi menyeluruh pada hampir semua sektor kehidupan.
Dianatara 114 surat yang ada dalam al-Qur'an didalamnya ada satu surat yang dideklarasikan untuk perempuan secara khusus memuat dengan lengkap hak asasi perempuan dan atauran-aturan yang mengatur bagaimana perempuan seharusnya berlaku di dalam lembaga pernikahan , keluarga dan sektor kehidupan. Surat ini dikenal dengan surat an-nisa, dan tidak ada surat dalam al-Qur'an yang menunjukan secara khusus untuk laki-laki, sudah sangat jelas bagi kita bahwasanya Allah sangat memuliakan hak-hak seorang perempuan. Terlebih Islam datang sebagai revolusi yang mengeleminasi deskriminasi kaum jahiliyah atas perempuan dengan pemberian hak waris , menegaskan status dan hak dengan laki-laki, pelarangan nikah tanpa jaminan hukum bagi perempuan dan mengelurkan aturan pernikahan yang mengangkat derajat perempuan masa itu dan penceraian pada masa itu.
Sebelum Islam datang hak wanita sangat diinjak-injak, wanita merupakan sesuatu yang hina, kenapa tidak demikian bisa kita bayangakan ketika Islam belum datang seorang wanita kehilangan kemerdekaannya, diskriminasi hukum kriminal, kebebasan mengubur bayi perempuan hidup-hidup, kawin paksa, wanita sebagai barang warisan, wanita dapat ditalak 100 kali, wanita dianggap binatang najis, istri yang sedang haid diusir, kaum wanita hilang untuk menerima hak waris , malah disebagian sejarah lagi dikatakan bahwa wanita bisa dipergauli oleh banyak laki-laki dan untuk menentukan siapa ayah dari anak yang dikandungnya maka dilakukan undian atau dipilih dari para lelaki itu mana yang lebih bagus dari segi fisik. Sungguh hinanya wanita pada masa itu bisa dibayangkan haknya yang diinjak-injak, namun setelahnya Islam datang maka wanitapun mendapatkan segala haknya dan juga perlindungan hukum.
Maka bergantilah era represif masa pra -Islam berlalu dengan kedatangan agama Islam dan Nabi Muhammad saw, yang mengembalikan perempuan sebagai perempuan utuh setelah mengalami hidup dalam kondisi yang mengenaskan tanpa kredibilitas apapun dan hanya sebagai komoditif tanpa nilai. Penghargaan Islam atas eksistensi perempuan ditauladani dalam sisi-sisi kehidupan Nabi Muhammad saw, terhadap istri-istri beliau, anak maupun hubungan beliau dengan masyarakat.
Kondisi perempuan masa risalah tercermin dalam kajian-kajian yang dipimpin langsung Rasulullah yang melibatkan para sahabat dan perempuan dalam satu majelis, dan terlihat jelas pada masa itu perempuan sangat diberikan keleluasaannya untuk menuntut ilmu, mengkritik, bersuara dan berpendapt. Terlihat jelas dalam panggung bisnis , politik ,meskipun dalam hal ini adanya kontropersi boleh tidaknya wanita berpolitik sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Arafa dalam bukunya Hak-Hak Wanita Dalam Islam, ia bukan saja mempertahankan bahwa wanita tidak memiliki hak-hak politik tetapi juga menegaskan bahwa ia tidak pernah ada dalam sejarah politik, ia mengatakan bahwa sejak permulaan Islam kaum wanita tidak memainkan peranannya dalam masalah-masalah umum disamping semua hak-hak yang telah diberikan oleh Islam diberikan kepada kaum perempuan yang sering kali sama dengan hak-hak yang diberikan kepada kaum laki-laki, ketika para sahabat Rasulullah saw bermusyawarah dianatara mereka sendiri setelah kematian beliau untuk menggantikan Rasulullah saw, maka disini para sahabiah tidak dilibatkan. Ia pun berpendat tentang Aisyah yang kita tahu bahwasanya pada masa itu ia meminta dilakukan pencarian terhadap siapa yang membunuh Ustman ra, maka ia mengatakan bahwasanya kisah Aisyah ini sangatlah memalukan dan dipandanga bid'ah. Terlepas dari hal itu semua bahwasanya sejarahpun menuliskan kalau kaum wanita juga terlibat dalam panggung politik (Fatima Mernisi, Menengok Kontropersi Peranan Wanita dalam Politik, ter. M. MansyurAbadi, Dunia Islam, Surabaya, 1997, hal. 5-12)
Wanita juga mendapatkan kesamaan haka dalam bidang pendidikan , keagamaan dan sosial, dan ikut serta dalam peperangan dengan sektor yang mereka mampu untuk melakukannya .
Dimana kita tahu bahwasanya Khadijah merupakan pembisnis yang kaya raya, Aisyah ra, seorang periwayat hadits dengan segala kecerdasannya dan juga banyak memberikan fatwa-fatwa, bahkan hawa feminispun telah terdengar dari suara-suara protes dan pertanyaan yang diajukan Ummu salamah ra. atas eksistensi perempuan.
Dari sini terlihat bahwasanya Islam telah mengubur masa penetrasi kaum laki-laki dan mengganti dengan masa yang lebih segar bagi perjalanan hidup perempuan selanjutnya, meskipun demikian tidak membebaskan Islam dari streotip Barat tentang perlakuaan institusi ini terhadap perempuan.
E. Analisis Terhadap Gender Barat dan Islam
Melihat perjuangan gender yang diusung kaum feminis Barat sangatlah jauh bila dibandingkan dengan penghargaan yang diberikan Allah SWT kepada umatnya, sebenarnya tidak ada lagi yang perlu dipermasalahkan dalam hal ini, namun meskipun demikian, tetap saja kaum feminis Barat masih memandang Islam dengan sebelah mata. Tapi umat Islam tidak bisa menutup mata bahwa kenyataan yang ada akan melahirkan sterotip-stereotip negatif, karena nonsen bila keagungan aturan tidak dibarengi dengan implementasi yang rill dari para penganutnya, dan bila yang terjadi adalah kesalahan dalam membaca bahasa agama dengan mengintrepretasikan suatu aturan secara subjektif, menghilangkan pesan yang dibawa dan justru menyembunyikan keontentikan pesan dengan manipulasi ajaran dengan diganti kultur-kultur yang merugikan kaum perempuan maka umat Islam pun perlu mengorientasikan langkah-langkah tanpa mengedepankan sikap raksionis untuk menghalau presfektif Barat terhadap umat Islam.
Namun justru mereintrepretasikan dan mengakui dengan terbuka bahwa umat Islam belum mampu membaca pesan agama dan mempunyai komitmen yang utuh terhadap ajarannya, yang terbukti dengan memperadukan kultur hegemoni atas perempuan telah dipaparkan di atas bagaimana sejarah Islam dan aturan yang dibawa ingin memberikan hak dan kemerdekaan perempuan, mendorong perempuan untuk maju, berkarya dan mendapatkan perlindungan. Tentu hal ini tidak berbeda dengan deklarasi dan tuntutan yang diajukan oleh kaum feminis atau pejuang hak asasi perempuan diberbagai belahan manpun dan samapai masa kapanpun jika bentuk tuntutan itu adalah persamaan hak yang mengedepankan pengertian dan kesadaran bahwa perempuan dan laki-laki adalah sama hak dan kewajibannya, yang membedakan keduanya yaitu pada hak seksis, biologis, dan reproduktif.
Bila demikian tinggal bagaimana umat Islam benar-benar ingin tampil elegan dan menepis stereotif yang ada dengan sikap proaktif atau tidak? Lalu mengapa para muslimah enmggan maju? Masih adakah kungkungan psikologis dan kultur yang menghalangi? Bukankah Islam telah menancapkan kakinya sebagai suporter terbesar dalam backing gerakan feminisme dari era risalah hingga masa kini. Solusinya tentunya kita perlu upaya dan karya riil terhadap permasalahan ini.
F. Isu-Isu Gender Hari Ini
Isu-isu yang uptudet disuarakan oleh kaum feminis yaitu:
a. Poligami
Poligami yang dilakukan oleh Aa. Gym mendapat kecaman keras dari kaum feminis, dan presiden pun sibuk meninjau ulang lagi tentang Undang-Undang yang mengatur Poligami…
Kehadiran ayat poligami dalam surat an-Nisa merupakan ancaman yang besar bagi kaum wanita yang tidak dapat mengimani ayat itu, padahal kita tahu bagaiman wanita sebelum Islam datang bahwasanya bukan empat lagi mereka boleh memikili wanita lebih dari 100 orang, namun Allah SWT menurunkan surat An-nisa ayat 3-4 untuk membatasinya.
b. Imam Perempuan
Lebih 100 jama’ah pria dan wanita bershalat Jum’at tanpa ada tirai yang memisahkan mereka sebagaimana amalan biasa. Separuh jama’ah pria bahkan beberapa kali dilihat gelisah dan keliru dengan tindakan mereka. Peristiwa itu nampaknya sudah didesain karena banyaknya liputan luas dari wartawan, juru foto media cetak serta televisi.
Sebelum pelaksanaan shalat, Wakil Direktur Pusat Kebudayaan Islam di New York, Muhamamd Syamsi Ali, sudah langsung menentangnya. Kepada harian Asyarqul Awsath, koran Arab Saudi yang terbit di London edisi Jumat lalu, ia menyatakan penolakan itu. "Tak jadi masalah jika Wadud hanya menjadi imam bagi jemaah wanita saja. Sebab, ini merupakan anugerah dan ketentuan Allah. Tapi, jika dia juga menjadi imam bagi jama'ah laki-laki, ini tak dibenarkan dalam islam (ghayru masmuh) dan tidak sesuai dengan ajaran islam," katanya.
Sabtu lalu, seorang ulama terkemuka dunia di Al-Azhar di Kaherah, Mesir mengatakan, Islam hanya membenarkan wanita menjadi imam kepada golongan yang serupa dengan mereka tetapi tidak kepada orang lelaki
G. Kesimpulan
Pada dasarnya wanita diciptakan secara fitrah dengan segala keistimewaannya dari segi perasaan dan laki-laki keistimewaannya dari segi rasional yang sangat menonjol, keduanya akan sangat positif bila dipadukan dan didudukan pada porsi masing-masing secara benar, demikian sunatullah telah menetapkan bagi mahluk-Nya, sehingga dapat dikatakan bahwa peran wanita dalam kehidupan ini tidak kalah pentingnya dari peran laki-laki dan kaum wanita mempunyai peran yang sangat penting yang kedudukannya tidak bisa diperankan oleh yang lain.
Dalam hadits dikatakan bahwa dunia ini seluruhnya adalah kesenangan dan sebaik-baik kesenangan adalah wanita yang sholehah, akan tetapi kesenangan disini jangan sampai disalahartikan bahwa wanita merupakan komoditi untuk kesenangan laki-laki, akan tetapi seorang wanita shalihahlah yang menjadikan sebuah kesenangan.
Banyak pahalawan dan ilmuan besar yang lahir dari tangan seorang wanita. Tidak sedikit wanita yang mampu mengubah dunia dan menjadi teladan dalam kebaikan, jadi tidak ada alasan bagi wanita untuk merasa tidak lebih mulia. Allah telah memulikan wanita dengan datangnya Islam dan juga Allah menjadikan hal yang spesial sebagaimana Allah telah memberikan nama dalam al-Qur'an dengan surat An-nisa.
Buah dari kebijakan Islam terhadap wanita dapat terlihat pada potret-potret para sohabiah, istri Rasulullah dan wanita-wanita hebat lainnya. Mereka adalah wanita-wanita agung yang berhasil melepaskan berbagai pembatas yang membelenggu dirinya, baik pembatas pada dirinya sendiri maupun dari lingkungan sekitar. Terlihat jelas bahwa wanita dapat menajadi panutan agung, tidak hanya terbatas pada urusan dapur, mengurus suami, dan mengurus anak.
Wanita adalah permata yang menjadi sasaran misi besar, Islam ada dan selalu membela wanita, karena posisinya yang penting dan banyak pahlawan tumbuh berkembang dalam buaiannya, orang-orang soleh pun banyak memperoleh pengalaman dan pelajaran dari keteladan seorang wanita.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur'an Nurkarim
A. Nunuk Prasetyo Munirti, "Sejarah Gende", Artikel, 2007, <http://
www.hidayatullah.com>
Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, terj. As'sd Yasin, Gema Insani Press, Jakarta, 1998
Abdul Mun'im Muhammad, Khadijah The Tru Love Story of Muhammad, terj. Ghozi. M, Pena, Jakarta, 2006
Ahmad Masruch Nasucha, Kaum Wanita Dalam Pembelaan Islam, CV. Toha Putra, Semarang, 1983
’Aidh bin Abdullah al-Qarni, Jadilah Wanita Yang Paling Bahagia, ter. Bahrul Abubakar Ihsan Zubaidi, Irsyad Baitu Salam, Bandung, 2004
Asma' Muhammad Ziyadah, Peran Politik Wanita Dalam Sejarah Islam, terj. Kathur Suhardi, Pustaka Kautsar, Jakarta, 2001
Fatima Mernisi, Menengok Kontroversi Peranan Wanita Dalam Politik, terj. M. Masyhur Abadi, Dunia Ilmu, Surabaya, 1997
Henri Salahudin, "Poligami dan Gender", Artikel, dimuat 4 Januari 200 <http://
www.hidayatullah.com>
Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, Feminis dan Relevansinya, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1994
Kuni Khairunisa, "Prespektif Gender dalam Islam (1)", 2001<http://
www.hidayatullah.com>
Muhammad Ali al-Allawi, The Great Women, terj. El-Hadi Muhammad, Pena, Jakarta, 2006
Nassarudin Umar, Argumen Kesetaraan Jender (Prespektif al-Qur’an), Paramadina, Jakarta, 2001
John M Echols dan Hassan Shadily, Kamus Inggris Indonesia, PT Gramedia, Jakarta, 1997