PKD PMII KOMISARIAT UIN SGD BANDUNG

Pelatihan Kader Dasar Pergerakan mahasiswa Islam Indonesia Komisariat UIN SGD BANDUNG

Pendidikan dan Pelatihan Jurnalistik

Pendidikan dan Pelatihan Jurnalistik oleh Lembaga Pengembangan Pers dan Jurnalistik Pergerakan Islam Indonesia Komisariat UIN SGD BANDUNG, baca selengkapnya

Kabar Rayon

Bagi sahabat-sahabat Rayon Komisariat UIN SGD Bandung yang ingin mengirimkan tulisan, salam, ktirik dan saran ataupun sekedar Publikasi kegiatan bisa post informasi di blog ini. Selengkapnya...

Photo-photo Aksi

Tangan terkepal..dan Maju ke muka, LAWAN!!!

Kebersamaan Warga Pergerakan

Photo bareng panitia dan peserta saat berlangsungnya acara Pelatihan Kader Dasar PMII Komisariat UIN SGD Bandung

Jumat, 23 Desember 2011

Antara Sastra Dan Warta

Konon, dahulu kala ketika zaman jahiliyyah, ketika sastra lisan mendominasi kehidupan di Arab, seorang sastrawan begitu disegani, bahkan ditakuti masyarakat. Bagaimana tidak, dahulu ketika seorang penyair mulai tidak menyukai seseorang atau bahkan ada yang mau melawannya, maka ia pun akan menelanjangi orang tersebut dengan syair-syairnya.

Dengan kondisi seperti itu, para penyair otomatis mempunyai kekuatan tak kasat mata namun mampu memberika efek terror yang sifnifikan kepada masyarakat. Hal tersebut bahkan dapat dikategorikan kepada suatu istilah yang disebut dengan tindak kekerasan simbolik. Sepertihalnya yang diungkapkan Bourdieu, bahwa ada sebuah tindak kekerasan yang halus dan tak tampak, yang disembunyikan dibalik pemaksaan dominasi, yang kemudian ia sebut dengan istilah Kekerasan symbolik.

Sebaliknya, kepada orang yang ia senangi, seorang penyair akan memberikan pujian setinggi langit. Dan otomatis –karena sastra lisan digandrungi pada masa itu- seluruh pelosok negeri pun akan mengetahui track record seseorang yang dipuji dalam syair penyair tersebut.

Bagaimana dengan hari ini, masih adakah sosok yang ditakuti dan disegani bahkan oleh para individu tingkat level masyarakat yang lebih tinggi seperti halnya penjabat atau publik figur pada umumnya. Dan jika ada, tak lain dia adalah PERS. Banyak individu yang disegani, dihormati masyarakat umum, namun tak berkutik jika ia sudah bergerak. Banyak orang berhutang budi padanya, dengan intensitas pemberitaan yang ia lakukan sehingga membuat seseorang tenar. Namun, ada juga yang begitu mengecamnya karena pemberitaan yang mengakibatkan namanya kotor, dan mendapatkan blacklist dari masyarakat.

Kita mengetahui, seseorang mampu dikenal karena pemberitaannya. Jika ada pertanyaan siapa Penjabat terbaik hari ini? Siapa aktor favorit anda? Siapa penyanyi terbaik menurut anda? Saya yakin sebagian besar jawaban anda bereferensikan terhadap pemberitaan yang ada di pers. Karena pers mampu menimbulkan opini publik yang efektif dengan pemberitaan yang bersifat redudansi (pengulangan/berulang).

Namun hal tersebut bisa berjalan sebaliknya. Sebut saja kasus pemberitaan pernikahan kedua (poligami) Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) yang mengejutkan masyarakat. Bukan saja masyarakat umum yang heboh membicarakan pernikahan kedua dai kondang ini, tapi pemerintah sampai merasa harus merevisi undang-undang pernikahan. Dan seketika pamor ulama yang biasa disapa Aa Gym ini anjlok karena pemberitaan tersebut. Atau bisa kita telaah bagaimana kasus skandal seks yang menimpa mantan presiden amerika, Bill Clinton, yang di blow up media yang mengakibatkan goyangnya pemerintahan yang ia emban saat itu, dan diduga pemberitaan tersebut bersumber pada lawan politiknya di parlemen amerika.

Itulah dia, dia adalah pers. Yang memberikan angin segar, namun tak jarang memberikan kabar tak sedap yang ditujukan kepada individu. Tak mengenal siapa, tak mengenal apa. Sejatinya pers adalah ruang kejujuran bagi masyarakat. Yang bebas dari distorsi-distorsi komunikasi, dan terbebas dari manipulasi opini yang ditujukan kepada publik.

Baca juga Artikel ini di
http://prosesberfikir.blogspot.com/2011/10/antara-sastra-dan-warta.html

Rabu, 21 Desember 2011

RELIGIOUS EXPERIENCE AND ITS EXPRESSION

oleh: Arip Budiman.....
Latar Belakang
Agama sudah menjadi bagian integral dari kebudayaan manusia selama berabad-abad lamanya, tetapi hanya pada dua atau tiga abad terakhir para pemikir bisa percaya bahwa agama dapat dijelaskan melalui analisis kritis dan ilmiah. Kapan dan bagaimana agama muncul? Apakah kekuatan atau motif yang menciptakannya? Apakah ia bersifat rasional ataukah emosional? Dan apakah agama mampu memenuhi kebutuhan sosial kehidupan manusia? Pertanyaan-pertanyaan ini telah menarik banyak pemikir sosiolog dan tokoh perbandingan ilmu agama diantaranya Emile Durkheim, E. B. Taylor, Sigmund Freud, J. G. Frazer, Muller dan Joachim Wach sebagai seorang tokoh pemikir perbandingan ilmu agama yang akan penulis paparkan beberapa pemikirannya tentang ekspresi keberagamaan atas penelitian yang dilakukannya di India.
Masalah pemahaman beragama yang berbeda dari agama sendiri telah membawanya pada suatu penyelidikan teori interpretasi ( hermeneutic ) pada abad Sembilan belas (1926-33). Dari penelitian tersebut ia menyimpulkan suatu masalah penting, yaitu bagaimana wujud keagamaan yang bineka itu dapat difahami? Dalam mengajarkan sejarah agama, Wach merasakan kebutuhan akan adanya teori pengalaman agama dan bentuk-bentuk pengungkapannya dalam pemikiran, peribadatan, dan kelompok sosial. Untuk itu ia berusaha membahas dengan jelas pengungkapan pengalaman keagamaan yang bersifat sosiologis seperti yang termuat dalam Sociologi of Religion, (1944). Dalam Type of Religious Experience (1951), tersedia sebuah bab tentang hal-hal Universal dalam agama ( Universals in Religion ) yang menjelaskan garis besar teori pengalaman keagamaan dan pengungkapannya dengan sidikit teoritis, praktis, dan sosiologis.
Untuk mengetahui seperti apa dan bagaimana agama yang dapat dikenali melalui observasi, pertama-tama kita harus menentukan dulu apa yang dimaksud dengan agama itu sendiri. Sebelum kita melangkah pada pemikiran Jochim Wach tentang Sosiologi of  Religion dan Type of Religious Experience penulis akan membahas tentang hal tersebut lebih dahulu. Karena jika tidak ditentukan pembahasannya, niscaya kita akan terjebak pada sebuah resiko yang melibatkan sisitem-sistem ide dan praktek-praktek yang sebenarnya berada diluar wilayah agama atau melewatkan fenomena religious tanpa menyadari bahwa sebenarnya fenomena itu religious. Jika melwatkan hal itu maka yang trjadi hanyalah formalisme metodologis yang kosong. M. Frazer adalah seorang ilmuwan yang sangat berjasa pada ilmu perbandingan agama, meskipun menurut Durkheim  bahwa ia juga telah gagal dalam memahami dan mengenali karakter yang benar-benar religious dalam setiap keyakinan dan ritus tempat dimanana cikal bakal kehidupan religious umat manusia terlihat jelas sekali.[1] Maka dalam penuntunan definisi ini, hal yang wajib dan sekaligus mungkin dilakukan adalah menentukan beberapa aspek kasat mata yang memungkinkan kita untuk memahami aspek-aspek religious, agar dapat menghindari pencampuradukan fenomena yang tidak bersifat religious atau tidak sakral dalam keberagamaan.
The Comvarative Study of Religions ( ilmu perbandingan agama ) adalah judul yang semula dipilih Wach untuk kuliah Barrows yang disampaikan di India pada musim gugur 1952.[2] Wach menyadari bahwa istilah-istilah semacam Science of Religions ( Ilmu Agama ) atau History of Religions ( Sejarah Agama ) dapat menyesatkan pendengarnya para bangsa India, karena ia tidak menyukai ungkapan-ungkapan istilah popular, Comparative Religious. Demikianlah dia lebih memilih istilah yang bersifat deskriptif dan nonteknis, yaitu The Comparative Study of Religions.
Dalam kuliah Barrows, Wach mengemban tiga tugas utama. Pertama, meneliti perkembangan dan masukan paling mutakhir dalam bidang ilmu agama. Kedua, menguraikan garis besar teori agama yang dapat memberikan penilaian yang tepat terhadap segi-sege universal atau umum dari ungkapan-ungkapan pengalaman keagamaan di dunia dan di setiap masa, tanpa prasangka terhadap ajaran tertntu. Ketiga, menunjukan garis-garis yang diikuti oleh hubungan-hubungan antar pelbagai agama.[3] Dalam banyak hal ia memandang kunjungannya ke India sebagai sebuah pengalaman penting dalam kehidupannya. Dia berkata dalam kuliah pendahuluannya sebagai berikut:
Sudah sejak lama dan senantiasa ada keinginan bagi saya suatu saat untuk mengunjungi India, sebuah negeri dengan peradaban maha besar dan sekian hal yang pasti menarik hati seorang peniliti sejarah agama…. Saya harap anda memahami secara tepat bahwa saya datang sebagai seseorang yang ingin belajar….. saya merasakan dimana saja adanya kebutuhan yang sengat mendesak untuk memperoleh informasi yang benar, yang sejati. Pengertian-pengertian yang telah lama ada, prasangka-prasangka yang baik, dan kata-kata klise bercampur dengan pemahaman yang benar atas dasar saling menghargai.[4]
Saat itu ia baru saja sembuh dari derita batin yang menimpanya pada tahun 1959. Tetapi antusiasnya terhadap India dan apa yang diberikannya kepada seorang ahli sejarah agama telah menghilangkan rasa cemasnya yang telah melumpuhkan.
Adapun salah satu kesulitan Wach dalam melaksanakan tugasnya ini adalah bahwa bangsa India secara agamis dan akademis tidak memiliki latar belakang dan pemikiran seperti yang dimiliki wach. Oleh sebab itu ia berusaha menghindarkan pemaparan teori-teori baru ilmu agama beserta aspek-aspek teknisnya.
Kehidupan dan Pemikiran Joachim Wach
  1. a.    Kehidupan Joachim Wach
Joachim Wach lahir di Chemnitz, Saxony, pada tanggal 25 januari 1898. Ia adalah putra tertua dari Felix dengan Katherine Wach. Ayahnya adalah putra dari Adolf Wah dan Lily Mendelskomponis, Felix mendelssohn Bartholdy. Adolf Wach mengajar hukum di Rostock dan kemudian di Leipzig.
Joachim Wach adalah keturunan dari keluarga Mendelssohn Bartholdy baik dari garis ibu ataupun ayahnya. Katherine, sang ibu meninggal dunia pada musim panas tahun 1956, adalah cucu perempuan Mendelssohn Bartholdy, saudara laki-laki Felix. Garis keayahannya dari Mendelssohn memakai nama tanda penghubung, Sementara garis keibuannya ( garis Paul ) mempergunakan nama dengan tanda nama penghubung antara kedua nama tersebut.[5] Kedua garis tersebut berpangkal pada filosof Yahudi yang besar, yaitu Moses Mandelssohn (1729-1786). Wach memperoleh perhatian penuh bukan saja dari kedua orang tuanya saja, tetapi dari kakek ataupun neneknya baik dari fihak ayah ataupun ibu. Mereka semuanya adalah orang yang berbudaya tinggi.
Minatnya terhadap agama bermula ketika ia masih muda. Gurunnya adalah seorang wanita penganut katolik romawi yang taat. Suatu saat gurunya mengak Wach untuk beraudiensi dengan Bishop di Wuzburg. Disana ia diberi beberapa gambaran tentang masalah keagamaan. Kemampuan dan keinginan intelektual Joachim Wach untuk belajar mulai tumbuh sejak berusia 14 tahun. Saat berusia tersebut dia sering menempel dinding-dinding kamarnya dengan kertas-kertas yang berisikan sejarah dunia. Pendidikan menengahnya diperoleh di Vitzthumsche Gymnasium di Dresden, dimana dia lulus ujian akhir pada tahun 1916.
Pada tahun yang sama, Wach memasuki tentara Jerman yang dikirim sebagai letnan ke front rusia. Perwira muda itu tidak peprnah lepas dari kedua buah koper bukunya, dan ia menghabiskan waktu sengganya dengan membaca dan belajar filsafat serta bahasa. Ia berungkap bahwa pengetahuannya tentang bahasa didapat pada saat moment perang yang ia jalani, yakni bahasa Arab dan bahasa Rusia. Sebuah pengalaman yang berkesan ia dapat ketika Wach di tempatkan di Laut Baltik, yaiutu berkaitan tentang kematian seorang serdadu muda yang kehilangan keberaniannya dan bunuh diri. Wach adalah atasan serdadu tersebut, dan ia merasakan kelemahan dirinya karena tidak mempu mengatasi situasi kemanusiaan yang sulit dan menjauhkan manusia dari penciptanya dan dari para pengikutnya. Masalah kematian ini sangat memikatnya baik sebagai masalah eksistensi ataupun sebagai masalah filsafat disepanjang hidupnya.[6]
Seusai perang dunia I, dia mengajar sebentar di Universitas Leipzig dan kembali menghabiskan tahun 1919 di Munich. Di Leipzig ia memperoleh gelar doctor ilmu filsafat pada tahun 1922. Tesis doktornya berjudul “Grundzuge einer Phenomenologie des Erlosungsgedankens,” dikemudian hari direvisi dan diterbitkan menjadi Der Erlosungsgedanke und seine Deutung.[7] Selama tahun-tahun tersebut Wach sering mengikuti perkuliahan-perkuliahan Prof. Husserl di Freiburg dan Gundolf di Heidelberg. Gundolf, adalah seorang sarjana sejarah sastra yang terkenal dan yang paling banyak mempengaruhi dalam diri Wach. Dan diapun terpesona pula oleh beberapa tokoh sosiologi seperti; Ernst Troeltsch, Adolf von Harnack, Johanes Immanuel vilket, Hans freyer, Max Weber, dan Rudolf Otto.
Pada tahun 1924, Wach ditunjuk menjadi dosen luar biasa di fakultas filsafat Universitas Leipzig . Waktu itu kakeknya masih mengajar di universitas tersebut. Di tahun 1929 Wach ditunjuk menjadi asisten Profesor dan menyampaikan kuliah inagurasinya yang berjudul “ Die geschichtsphilosophie”.
Pada saat Perang dunia kedua melahirkan kesengsaraan baru atas diri Wach. Saat ia diselamatkan oleh sahabatnya di Amerika, fakta bahwa keluarga, ibu, dan saudara perempuannya serta para sahabatnya mengalami penderitaan di bawah tirani Nazi hamper-hampir tak tertahankan olehnya. Tetapi keperihatinannya yang paling mendalam adalah berkenan dengan nasib kebudayaan dan peradaban Eropa. Pada tahun 1945, Wach menerima undangan Universitas Chicago, untuk menjabat sebagai guru besar dan ketua sejarah agana pada federasi fakultas teologi.
Menjelang akhir hidupnya, penguasa Hesse memanggil Wach untuk memangku jabatan ketua teologi sistematik di Marbug, sebuah kedudukan yang pernah dipegang oleh Rudolf Otto. Dan Joachim Wach meninggal dunia pada tanggal 27 Agustus 1955 di Orselina, Swetzerland, pada saat ia sedang menyempurnakan buku tentang perbandingan agama. Ny. Susi Heigl-Wach ( saudara perempuannya ) memutuskan untuk sejauh mungkin tetap berusaha mempertahankan gaya dan isinya dan mengembangkan lebih jauh beberapa bagian dari manuskrip tersebut.
  1. b.   Konsep Joachim Wach tentang Agama
Sejarah agama telah dipegang Wach sepanjang tiga puluh tahun karir akademisnya, tetapi satu-satunya buku yang ditulisnya dalam bidang buku ini adalah sebuah buku kecil mengenai Buddha Mahayana. Meskipun demikian, mereka yang kenal akan selalu terkesan dengan minatnya yang sungguh-sungguh dan pengetahuannya yang luas di dalam berbagai rupa sisi sejarah agama. Minat Wach yang beraneka ragam, terutama tentang filsafat manusia dan pemikiran sosiologisnya yang mendalam mengenai Gemeinschaft atau komonitas yang menghasilkan suatu prinsif agama yang terpadu. Memang baginya agama adalah problem pemikiran yang utama, yang untuknya dia telah menerapkan seluruh kecakapan praktis yang dia miliki, dan baginya agama adalah perbuatan manusia yang paling mulia dalam kaitannya dengan Tuhan Maha pencipta, kepadaNyalah manusia memberikan kepercayaan dan ketertarikan yang sesungguhnya.
Pandangan Wach terhadap agama ditentukan oleh latar belakang keluarga dan pengalaman peribadi. Dalam persoalan keagamaan dia mewarisi konsep toleransi keluarga dan lingkungan sekitar. Suasana Universitas Leipzig, almamater Gothe, Klopstock, dan Schelling menyumbangkan pula sikap toleransi agama dalam diri Wach. Salah satu kutipan James yang disukai Wach adalah “Ketuhanan tidak bersikap tunggal, tetapi berarti sejumlah sifat, yang melalui keagunganNya yang berdimensi banyak, memungkinkan semua ragam orang akan menemukan misi yang baik”.[8] Akan tetapi, toleransi agama tidak pernah wach fahami sebagai ketidak perbedaan agama. Mungkin untuk lebih jelasnya Wach pernah berungkap:
Pertemuan yang sebenarnya dengan kasih Tuhan yang menyelamatkan dalam kristus adalah . . . dalam pandangan setiap orang Kristen memerlukan syarat kesaksian melalui tingkah-laku dan kata-kata. Semata-mata dibesarkan dalam cara-cara Kristen adalah tidak cukup. (“fiant, non nascuntur christiani” – “biarkan mereka menjadi orang-orang Kristen, karena mereka tidak dilahirkan demikian.” ) meskipun sudah barang tentu seseorang tidak diharuskan melihat kembali dan memberikan uraian mengenai suatu pengalaman konversi, tetapi keputusan yang diambil secara sadar dan keterikatan terhadap kristus, implicit dalam kehidupan kita, adalah hal yang sangat diperlukan.[9]
dalam sebuah karya tulisnya yang pertama-tama, wach membahas hubungan antara ilmu agama dengan ilmu filsafat.[10] Menurut dia, sedikit sekali perbedaan diantara keduanya, sebab “apabila apabila yang pertama meneliti tentang keabsahan yang bersifat individual, khusus, dan historis, maka yang terakhir tertarik dengan keabsahan yang sifatnya umum dan universal”.[11] Dilain pihak hubungan antara teologi dan filsafat, atau antara teologi dan sejarah agama, adalah jauh lebih kompleks.[12] Dalam menolak kesalahan konsepsi yang terjadi Wach menyatakan bahwa tugas ahli sejarah agama adalah mempelajari ajaran-ajaran agama bukan Kristen, sementara tugas teolog adalah membahas apa yang harus dipercaya oleh seseorang. Wach mengatakan:
Sebenarnya ahli sejarah agama tidak memerlukan uluran tangan teolog untuk melakukan penelitian. Tanpa memaksakan materi (agar sesuai dengan kerangka atau fikiran-fikiran yang asing baginya, ia akan mampu memperoleh petunjuk apabila cermat menyimak beberapa usaha-usaha yang telah dilakukan disiplin teologis. Bahkan teolog, penafsir kitab suci, ahli sejarah gereja, dan hamper semua teolog sistematis atau kontruktif tidak dapat mengenyampingkan materi yang sudah ada pada ahli sejarah agama.[13]
Akan tetapi, dalam mengemukakan proposisi ini Wach tidak membatasi tugas sejarah agama hanya pada penelitian historis dan filosofis saja. Sebaliknya ahli sejarah agamaharus pula memperhatikan “pengertian semua ungkapan pengalaman keagamaan ini, dan makna serta hakekat pengalaman keagamaan itu sendiri”.[14]
Tidak sedikit ilustrasi-ilustrasi yang dikemukakan Wach; dijelaskan secara terpisah atau secara perbandingan, tanpa memberikan penilaian. Melalui pendekatan ini Wach berusaha untuk menunjukan bahwa bentuk-bentuk ungkapan ini, meskipun ditentukan oleh lingkungan tempat asalnya, namun memperlihatkan struktur yang sama. Bentuk-bentuk ungkapan tersebut ternyata mempunyai tema-tema pemikiran keagamaan yang universal; dan yang bersifat universal senantiasa tersimpan dalam yang bersifat particular.[15]
  1. c.    Toleransi Joachim Wach
Dapat difahami jika usaha toleransi Wach sangat dipengaruhi oleh tempramen, pengalaman akademis, dan keyakinan agamanya. Prinsif pemikirannya ialah bahwa yang bersifat universal dan yang bersifat particular harus dikaitkan, tapi karena ia tempramen Wach lebih memandang yang bersifat particular itu dari sudut yang universal.
Secara mwtodologis, usaha Wach yang konstruktif pada umumnya bergantung pada pemikiran Max Scheler, yang telah meneliti hakekat Ketuhanan, wahyu, dan tingkah laku keagamaan. Seperti yang telah dilakukan scheler sebelumnya, Wach menerima analisa Fenomenologis Roudolf Otto mengenai pengalaman tentang yang suci.[16] Wach berkeyakinan bahwa sejarah agama harus menilai pemikiran-pemikiran keagamaan diluar agama Kristen.
Uraian ringkas kehidupan serta pemikiran Joachim diatas penulis sajikan sebagai pengantar pada sebuah pandangan Wach tentang Religious Experience (perilaku keberagamaan) yang akan penulis bahas dalam bab selanjutnya. Uraian tersebut tidak akan menjadi sempurna tanpa menambahkan sedikit uraian tentangnya sebagai seorang guru. Wach melukiskan hubungan antara murid dengan guru, yang menjadi tujuan adalah pemindahan ilmu, yang memerlukan adanya kompetensi antara kedua belah fihak. Setalah meninggal dunia, seorang guru akan tetap hidup dalam karyanya.


RELIGIOUS EXPERIENCE AND ITS EXPRESSION
Abstrac; Ada tiga macam cara tradisional dimana pengalaman keagamaan memperoleh bentuk ungkapannya, yaitu dalam bentuk pemikiran, dan bentuk perbuatan, serta dalam bentuk persekutuan.
A. Pembahasan
  1. 1.      Hakikat Pengalaman Keagamaan
Jika kita ingin menjelaskan hakikat pengalaman keagamaan, darimanakah kita memeulainya? Berbeda dengan kebiasaan umum yang memilih penelitian fungsi agama, maka disini penulis akan lebih mengutamakan tekanan pada hakekat agama.
Nampaknya ada dua macam cara atau metode untuk melakukan penelitian terhadap hakikat pengalaman keberagamaan. Cara pertama adalah dengan menggunakan deskripsi sejarah agama, sekte, atau aliran pemikiran keagamaan itu sendiri. Cara yang lain adalah berangkat dari sebuah pertanyaan mengenai “dimana aku,” yaitu lingkungan potensial dimana lingkungan perorangan berlangasung.[17]
Ada empat macam pendapat mengenai hakikat pengalaman keagamaan. Yang pertama menyangkal adanya pengalaman tersebut apa yang dikatakan sebagai pengalaman keagamaan adalah ilusi belaka. Pandangan ini kebanyakan dikemukakan oleh para hli psikologi, sosiolgi, dan pera pemikir filsafat. Pengalaman yang kedua mengakui mengakui eksistensi pengalaman keagamaan, namun mengatakan bahwa pengalaman tersebut tidak dapat dipisahkan karena sama dengan pengalaman yang bercorak umum. Dawey, Wietman, Ames,  dan pemikir bangsa Eropa serta Amerika yang lain mengungkapkan pendapat ini. Pandangan ketiga, mempersamakan antara bentuk sejarah agama dengan pengalaman keagamaan, suatu kebiasaan yang menjadi cir sikap konservatif yang tegar yang terdapat dalam pelbagai masyarakat agama. Pandangan yang keempat adalah pandangan yang mengakui adanya suatu pengalaman keagamaan murni yang dapat diidentifikasikan dengan mempergunakan criteria tertentu yang dapat diterapkan yang dapat diterapkan terhadap ungkapan-ungkapannya yang manapun. Criteria tersebut, akan dikemukakan satu persatu, akan menjelaskan bahwa pengalaman keagamaan merupakan suatau pengalaman yang terstruktur. Ternyata ia jauh dari suatu bentuk perluasan emosi yang belum sempurna dan samar-samar, singkatnya adalah, pengalaman keagamaan adalah pengalaman yang teratur.
Kriteria pertama ialah bahwa pengalaman keagamaan itu merupakan suatau tanggapan terhadapa apa yang dihayati sebagai realitas mutlak.[18] Yang kita maksudkan dengan realias mutlak adalah realitas yang menentukan dan mengikat segala-galanya, atau yang member kesan dan menantang kita.[19] Dengan demikian, kita akan dapat mengatakan bahwa pengalaman mengenai sesuatu yang sifatnya terbatas tidak akan dapat merupakan suatu pengalaman keagamaan melainkan sebuah sekedar pengalaman pseudo-agama. Symbol-simbol selama difahami hanya sebatas symbol, mungkin saja menunjuk kepada sesuatu sifat yang tak terbatas, hingga tidak mesti ditempatkan dalam kategori yang sifatnya terbatas.
Sekarang kita akan melanjutkan pada kriteria kedua yang akan memungkinkan kita untuk menentukan apa yang merupakan pengalaman keagamaan yang sebenar-benarnya, dan apa yang bukan merupakan pengalaman keagamaan. Pernyataan bahwa pengalaman keagamaan harus dipandang sebagai suatu tanggapan yang menyeluruh dari makhluk utuh terhadap Realitas Mutlak, itu berarti bahwa peribadi utuhlah yang terlibat, bukan hanya sekedar fikiran, perasaan, atau kehendaknya saja. Pengalaman keagamaan merupakan suatu susunan bertingkat yang terdiri dari tiga unsur yaitu, akal, perasaan, dan kehendak hati. Dalam hal ini pengalaman keagamaan berbeda dari pengalaman-pengalaman partial yang hanya berkenan dengan satu bagian saja dari kewujudan manusia. Tepatnya mungkin dapat dinyatakan bahwa agama berhubungan dengan manusia utuh dan dengan keseluruhan hidup manusia.[20]
Kriteria pengalaman keagamaan yang ketiga adalah kedalaman (Intensity). Ini tidak dikemukakan sebagai sesuatu yang deskriptif. Secara potensial pengalaman keagamaan tersebut adalah merupakan pengalaman yang paling kuat, menyeluruh, mengesan, dan mendalam yang sanggup dimiliki manusia.
Kriteria keempat dari pengalaman keagamaan yang murni adalah bahwa pengalaman tersebut dinyatakan dalam perbuatan. Pengalaman tersebut melibatkan sesuatu yang imperative.[21] Ia adalah sumber motivasi dan perbuatan yang tak tergoyahkan. Menurut Wiliam James, adalah merupakan satu-satunya bukti yang tepat untuk diri kita adalah pemeluk-pemeluk agama Kristen yang sungguh-sungguh. Dia mengutif Jonathan Edwards: tingkatan dimana pengalaman kita merupakan hasil dari perbuatan adalah menunjukan tingkatan dimana pengalaman kita tersebut bersifat spiritual dan agamis. Baik ada atau tidak adanya penekanan, perbuatan telah mengambil peranan yang luas dalam pembahasan antara Timur dan Barat , antara orang-orang Kristen Eropa dan Amerika, antara kaum Tradisionalis dan Modernis dimana saja.
Adanya satu atau bahkan beberapa diantara keempat kriteria diatas tidaklah cukup untuk memberikan karakteristik yang jelas pada suatu pengalaman sebagai pengalaman keagamaan. Keempat-empatnya harus ada. Ini berarti bahwa tidak aka ada agama “tanpa Tuhan,” dan hanya merupakan suatu kesalahfahaman belaka yang menyebaban agama Budha atau Konfosius dipandang demikian. Menurut Wach bisa jadi agama Budha dan Agaman Jain pada mulannya merupakan kritik terhadap tradisi atau terhadap pemberian sifat postitif atas Realitas Mutlak. Tetapi kedua-duanya berkembang menjadi agama yang sebenarnnya. Agama konfosius dengan tegas mendeskripsikan suatu kepercayaan yang transcendental tentang aturan alam (Tao) dan tentang ordonansi langit.
Akan tetapi, sedikitpun tidak pernah disangkal bahwa pengalaman keagamaan terdapat dalam diri manusia. Saya percaya bahwa hakikat kemanusiaan yang umum mencakup kemungkinan yang selalu ada pada agama, uajar Marett.[22] Menurut Wach pengalaman keagamaan yang terdapat dalam diri manusia adalah segi yang bersifat tetap dan universal dalam kehidupan mentalnya.[23] Sudah barang tentu apa yang diperlihatkan kepadanya adalah hasil dari usahanya sendiri, sehingga kemungkinan yang tetap itu adalah suatu kemungkinan manusiawi.
Realitas mutlak tidak seluruhnya jauh atau tersembunyi, dan tidak pula selalu berupa sesuatu yang seluruhnya lain, seperti yang telah dikemukakan oleh orang-orang gnostik dan agnostic, oleh sebagian golongan fideis dan oleh sementara penganut mistik. Disini teologi positif memperoleh kebenarnnya. Realitas mutlak sungguh-sungguh membuka diri, memperlihatkan atau menampakan diriNya. Pengalaman keagamaan juga terjadi dalam konteks sejarah dalam agama menurut webb.[24] Pada dasarnya kesinambungan perasaan dengan masa lampau masyarakat agama yang ditemui manusia atau yang membuat dirinya menjadi seorang anggota, dan dilaluinya dilangsungkan melalui pengalaman keagamaan.
Wach telah mengadakan suatu study khusus (Sosiology of Religion) berkenan dengan interaksi pengalaman keagamaan dengan factor-faktor social yang membentuk konteks social. Dia mengikuti petunjuk-petunjuk sarjana bangsa Jerman terkemuka seperti Max Weber, Ernst Troeltsch, dan Amx Scheler, yang meratakan jalan untuk memberikan pengaruh yang luar biasa yang diberikan oleh motivasi keagamaan dalam pengelompokan social, dan yang membuat imbangan berupa pengaruh kondisi-kondisi social terhadap kehidupan agama.
  1. 2.      Ungkapan Pengalaman Keagamaan dalam Bentuk Pemikiran
Pertama marilah kita melihat motivasi untuk mengungkapkan pengertian keberhadapan dengan realitas mutlak yang kita sebut dengan pengalaman keagamaan dalam bentuk pemikiran. Pertama, adanya suatu sikap yang eksplosif. Orang-orang pasti akan memperlihatkan perasaan gembira dan susuah. Demikian pula halnya dengan perasaan-perasaan segan, takut, san suka cita yang memenuhi hati orang yang beragama terhadap sesuatu yang dianggap sacral.
Selanjutnya akan dikemukakan uraian sekedarnya dari pemikiran Wach mengenai ragam ungkapan pengalaman keagamaan. Penulis akan membedakan antara ragam yang endictic dan discursive.Endeixis adalah kata Yunani yang berarti “pemakluman” (announcement). Bentuk endeiktik digunakan untuk menunjukan sesuatu yang diisyaratkan, atau yang diungkapkan dalam bentuk yang terselubung, dan yang memainkan peran penting dalam sejarah agama-agama.[25] Memang ada sejumlah ungkapan tentang perasaan dan tingkah laku yang pantas, yang sering kali begitu puitis dalam agama primitf.
Dalam suatu pernyataan yang berpengaruh dan tepat, Hartshorne menyatakan “agama Kristen mempunyai beberapa symbol, sekalipun para pemeluknya tidak tahu artinya.[26] Symbol kadang-kadang memiliki sejarah yang panjang dan rumit, tetapi karena daerah penafsirannya yang begitu luas, bagaimanapun ungkapan simbolis sangat cocok sebagai penyampai ungkapan keagamaan.
Wach menuturkan bahwa pengalaman keagamaan cendrung mengungkapkan diri sudah merupakan salah satu karakteristiknya yang universal, demikian halnya dengan mistik dan spiritualisme. Tetapi, bentuk ungkapan dan hubungan antara bentuk ungkapan tersebut dengan pengalaman keagamaan, sangat beranekaragam, sesuai dengan ragam kebudayaan, social dan agama yang ada.[27] Menurut Webb :
Dalam sejarah agama, penyembah berhala saat ini kadangkala adalah agama yang benar dimasa lalu dan agama yang benar pada saat ini mungkin akan menjadi agama berhala dimasa dating, tetapi semua itu hanya akan menjadi apabila kita memandang identitas suatu agama semata-mata dari identitas symbol yang terdapat di dalamnya. Tetapi agama yang wajahnya senantiasa di hadapkan pada Reakitas Tertinggi dank arena itu tidak merendahkan pemikirannya untuk disesuakan dengan symbol-simbol, melainkan lebih menyelaraskan symbol-simbolnya, atau menempatkan kembali bersama-sama yang lain yang telah diselaraskan dengan cara yang lebih baik terhadap yang tertinggi dan yang terbaik yang dapat dibayangkan, maka inilah agama yang benar, apapun simbolnya,[28]
Keyakinan beragama yang berbeda-beda akan mengakibatkan pada penilaian yang berbeda-beda pula terhadap ungkapan atau terhadap bentuk-bentuk tertentu dalam pengungkapan keagamaan.
Dalam pelbagai penulisan, Wach telah mengemukakan adanya tiga macam sarana pengungkapan pengalaman keagamaan, yaitu pemikiran, perbuatan dan persekutuan. Telah dikemukakan, symbol adalah matriks yang memuat dan mempersatukan ketiga bentuk ungkapan tersebut in nuce, dan bahwa cara-cara endiktik ataupun yang diskursif memainkan peranan masing-masing dalam bentuk-benruk ungkapan ini.
Pengalaman keagamaan yang diungkapkan secara intelektual bisa bersifat spontan, belum mantap, atau baku dan tradisional. Ungkapan pengalaman keagamaan toeritis yang paling penting terdapat dalam mite. Sudah sekian lama pemikiran penting pada masa positivism ini diabaikan orang, maka duapuluh lima tahun kemudian tumbuh perhatian baru pada mite dan mitologi.[29]
Cara kedua mengungkapakan pengalaman keagamaan secara intelektual adalah doktrin. Apa-apa yang terkandung dalam symbol dan digambarkan oleh mite, apabila keadaan memungkinkan akan dijelaskan secara sistematis, ditetapkan sebagai norma, dan dipertahankan dari penyimpangan. Ada beberapa factor penyebab perkembangan ini. Pertama, keinginan untuk bertautan, suatu dorongan yang sifatnya sistematis, kedua keinginan untuk memelihara kemurnian pandangan, ketiga keingin tahuan dan kemauan untuk mengisi, keempat, tantangan keadaan, dan akhirnya, adanya kondisi-kondisi social terutama adanya suatu pusat kekuasaan.  Istilah Yunani theologia seringkali diaplikasikan untuk doktrin. Doktrin mempunyai tiga macam fungsi yang berbeda-beda yakni; penegasan dan penjelasan, pengaturan kehidupan normative dalam melakukan pemujaan dan pelayanan, dan fungsi pertahanan iman serta penegasan hubungannya dengan ilmu pengetahuan yang lain (apologetic).[30] Dalam pengertian ini doktrin akan mengikat dan hanya berarti bagi masyarakat yang beriman, dan tidak selainnya.
Ungkapan pengalaman keagamaan yang teoritis dapat pula ditemukan dalam bentuk yang lain. Untuk beberapa waktu mungkin ungkapan tersebut terpelihara dari mulut ke mulut, dan setelah lama kemudian dituangkan  ke dalam tulisan. Kata-kata suci atau cerita-cerita suci, nyanyian, doa, semuanya menandai tingkatan-tingkatan yang dapat atau tidak dapat membawa pada suatu kelanjutan, seperti yang terjadi dalam perkembangan bentuk-bentuk sastra epic, lirik dan dramatic. Teks-teks klasik funginya adalah untuk menggembirakan, memperteguh keyakinan, dan untuk mendidik. Tulisan-tulisan suci seperti yang termaktub dalam kitab-kitab agama Kristen, Al-Qur’an, Avesta, Weda, Ginza, Grath, Tripitaka, mengungkapkan suatu norma kehidupan. Hal penting yang dikaitkan dengan pemahaman tulisan-tulisan suci menjelaskan adannya pertumbuhan literature tingkat kedua yang memiliki cirri penafsiran ( tradisi ).
Sekarang kita akan kembali pada uraian tentang pengakuan iman dan rumus-rumus keyakinan dalam usaha kita mempelajari bentuk-bentuk ungkapan intelektual pengalaman keagamaan. Semua agama besar dunia memiliki pernyataan iman yang mungkin merupakan kutipan-kutipan dari tulisan-tulisan suci, semisal schema dalam agama yahudi. Pengakuan-pengakuan semacam itu lambat laun brkembang dalam agama-agama Kristen, Islam, Zoroaster, dan Budha.
Dengan melihat kembali pada keanekaragaman yang mungkin terdapat dalam ungkapan pengalaman keagamaan secara intelektual, kita menyadari terjadinya suatu tegangan antara dorongan untuk mengungkapkan apa yang dialami dengan batas-batas bagi kehidupan ini. Dengan kata lain, terdapat pembatasan ganda; satu yang dibatasi oleh sifat yang membatasi semua pemikiran dana penalaran sekitar realitas-realitas spiritual, dan yang lain disebabkan oleh tegangan-tegangan empiris yang cepat atau lambat akan berkembang diantara pemikiran yang dikembangkan oleh pengalaman keagamaan khusus dengan iklim pemikiran umum yang terdapat dalam kebudayaan masyarakat tertentu.
  1. 3.      Ungkapan Pengalaman Keagamaan dalam Bentuk Perbuatan
Kawasan pengalaman keagamaan yang luas dapat dipisah-pisahkan menjadi beberapa bentuk pengungkapan, diantaranya ; pemikiran, perbuatan, dan persekutuan atau jamaah.  Disini penulis akan membahas bebtuk yang kedua. Sebelumnya penulis telah mendefinisikan hakikat pengalaman keagamaan yang sebenarnya sebagai suatu keberhadapan manusia dengan Realitas Mutlak. Tingkah laku keagamaaan yang digunakan untuk memperkokoh dan memelihara hubungan ini, harus dilihat dari pembahasan kita sebelumnya. Tingkah laku agama yang pertama dan utama menurut Von Hugel, “adalah pemujaan.” Dari satu segi, kultus dapat dijelaskan sebagai sebuah reaksi penghayatan terhadap relasi Mutlak atau Tertinggi. Tuhan dating kepada manusia ketika manusia mendekati Tuhan.[31] Dalam pengalaman keagamaan, dalam diri manusia muncul rasa kesadaran merendahkan diri sehingga bukan yang memperkokoh suatu hubungan. Tapi dialah yang memperkokoh oleh dan melalui pelaksanaan praktek keagamaan.
Dalam pembahasan kita tentang hakikat pengalaman keagamaan, kita telah mengetahui bahwa manusia yang utuh dan bukan hanya batin manusia saja yang terlibat dalam pengalaman tersebut. Badan, akal, dan jiwa semuanya terlibat.
Sekarang kita akan memperhatikan pada kedua bentuk utama ungkapan pengalaman keagamaan yang nyata, yaitu ketaatan dan peribadatan atau pelayanan. Ibadat adalah tingkah laku tertinggi dalam kehidupan keberagamaan seorang manusia. Wach mengatakan bahwa dalam realitas Mutlak hanya ada satu yang diperbuat, yaitu memuja. Sebuah penelitian belum lama berselang mengenai ibadat Kristen menyatakan; pemujaan adalah tanggapan perasaan kita (perasaan keagamaan yang khas), pemujaan adalah hormat yang mendalam yang dikembangkan menuju titiknya yang tertinggi dan merupakan sebuah suasana fikiran yang kompleks dan tersusun dari rasa kagum, takut dan cinta.[32] Puji, terimakasih, penilaian diri sendiri, taubat, semua tingkahlaku ibadat tersebut adalah sebuah reaksi dan aksi keagamaagaman yang memiliki tujuan. Tujuan ibadat adalah konsekrasi, yaitu perubahan dari semua wujud dan benda agar serasi dengan tata tertib dan kehendak Tuhan. Akhirnya ibadat juga dimaksudkan untuk mencapai kedekatan dan kesatuan dengan Tuhan.
Setiap agama mempunyai ungkapan prilaku atau praktek-praktek peribadatannya sendiri. Dalam tingkat inilah kita melihat adanya perbedaan besar antara agama-agaman etnis dan agama-agama universal, daripada dalam bentuk ungkapan pengalaman keagamaan secara intelektual. Agama etnis menekankan pada pelaksanaan perbuatan itu sendiri, opus operantum; sementara agama-agama yang universal memberikan penilaian yang utama pada tujuan perorangan sebagai ukuran dari kemurnian iman.[33]
Sejarah agama seringkali menceritakan adanya ritus-ritus pengorbanan, sebagai persembahan terhadap dewa-dewa. Dalam lingkungan tertentu dari aliran tantrisme kiri dalam Hinduisme, dilakukan sakramen maithuna. Dalam suatu tingkatan spiritual, laki-laki dan wanita mistik akan menuangkan hubungan intim mereka dengan melakukan hubungan suami istri dalam semangat agamis. Robertson Smith, peneliti utama dari agama-agama Semit, disamping Reuterskold, Mauss, dan lain-lainnya, telah menekankan pada arti penting dari hidangan kurban. Disini dapat ditelusuri adanya dua macam simbolisme: makan bersama melambangkan hubungan yang ada antara para penyembah dengan dewa, dan hewan yang dimakan atau anggur yang diminum merupakan simbolik dari kurban.
Kita telah mengetahui bahwa ketaatan dan peribadatan merupakan dua bentuk utama dari ungkapan pengalaman keagamaan yang nyata. Peribadatan hendaknya difahami dalam pengertian yang paling luas. Karena itu dapat dikatakan bahwa suatu perbuatan murah hati yang tertentu akan dapat menjadi suatu alat bantu untuk melakukan ibadat apabila bukan ibadat itu sendiri.[34]
Dalam pelbagai agama ditekankan pentingnya suatu prinsif formal seperti keharmonisan dengan Tao, penyerahan diri terhadap kehendak Tuhan, atau cinta. Sementara dalam masyarakat agaman-agama yang lain, berkembang suatu system etika yang rumit dimana cara-cara yang tepat untuk melakukan peribadatan dalam setiapp situasi telah distandarkan.
  1. 4.      Unkapan Pengalaman dalam Bentuk Persekutuan
Perbuatan agama merupakan perbuatan keagamaan dari seseorang. Penelitian terhadap agama-agama primitif memperlihatkan bahwa agama-agama pada umumnya merupakan suatu usaha bersama, meskipun terdiri dari pengalaman-pengalaman perorangan.[35] Dan dalam melalui pernuatan keagamaan, terbentuk kelompok keagamaan. Tidak ada agama yang tidak mengembangkan suatu bentuk persekutuan keagamaan. Hocking mempertanyakan “mengapa homo religious berusaha membentuk suatu kelompok. Dia menjawabnya dengan mengatakan bahwa adanya kelompok merupakan suatu pembenaran dan perkembangan eksperimental yang berkelanjutan baik mengenai kebenarannya ataupun mengenai caranya menuangkan dalam kenyataan.[36]
Integrasi dalam kelopok keagamaan telah dijadikan pembahasan dalam study penelitian Wach yang terangkum dalam bukunya Sosiologi of Religious. Sepanjang berbagai ungkapan bentuk intelektual , seperti mite dan doktrin, diindahkan, maka dapat dilihat adanya pengaruh ganda ; bentuk tersebut dapat meningkatkan rasa solidaritas orang-orang yang diikatnya, tetapi juga dapat berakibat yang sebaliknya. Pelbagai kelompok keagamaan menginginkan adanya ketetapan pernyataan para anggotanya dan hanya memandang sekunder kepada akibat pengaturan seperti itu terhadap spontanitas para anggotanya. Tetapi, masyarakat-masyarakat agama yang lainnya menghargai kebebasan tanpa menimbulkan gangguan terhadap kesamaran dan atomisme yang boleh jadi timbul akibat keadaan yang terlalu besar dan luas.
Dalam kaitannya dengan ungkapan pengalaman keagamaan yang nyata, kita telah mencatat bahwa perbuatan-perbuatan bersama dalam ketaatan dan menjalankan peribadatan dapat memberikan suatu ikatan kesatuan dikalangan para anggota suatu kelompok kultus yang luar biasa kuatnya. Berdoa bersama dijadikan tanda persekutuan spiritual yang terdalam. Bekerja sama dalam melaksanakan suatu persembahan khusus akan dapat menciptakan adanya suatu persekutuan yang tetap. Suatu ikatan persaudaraan akan dapat timbul dari pemujaan bersama yang dilakukan sejumlah orang terhadap seorang nabi atau orang suci. Perbuatan kurban juga menjadi contoh dari perbuatan-perbuatan kultus lain yang mempunyai pengaruh dalam integrasi social. Kita akan melihat adanya usaha untuk memperkuat hubungan tarik menarik pada setiap tingkat pengelompokan social, dalam keluarga atau dalam rumah tangga, dalam perkawinan atau dalam persahabatan, dalam ikatan keluarga atau ikatan regional, dalam kampung atau kota, ataupun bangsa masyarakat agama yang lebih spesifik. Usaha tersebut memperlihatkan fungsi integrasi dari suatu pengalaman keagamaan bersama.
Tetapi adakah sisi lain dari gambaran tersebut? Sejarah memperlihatkan kepada kita bukan saja kekuatan agama yang secara social bersifat konstruktif, tetapi juga tersimpul kekuatan yang destruktif. Bukankah ikatan-ikatan persahabatan yang berdasarkan hubungan darah yang kuat telah dihancurkan atas nama agama? Sejarah agama-agama yang universal tampaknya terutama menggambarkan dalam hal ini. Memang untuk menciptakan sebuah persaudaraan spiritual yang baru dan kokoh yang didasarkan atas prinsip-prinsip yang dikemukakan oleh kepercayaan yang baru, maka ikatan-ikatan yang lama pasti dihancurkan. Pecahnya ikatan-ikatan social ini menjadi salah satu tanda dari adanya keinginan untuk memulai sebuah kehidupan yang baru.  Menjadi seorang pengikut agam Budha berarti meninggalkan orang tua dan keluarga, istri dan anak-anak, rumah, kekayaan dan lain sebagainya, sama seperti halnya burung-burung flamingo yang meninggalkan daun-daunnya.[37] Itulah sebabnya orang-orang yang tulus akan merasa gembira ketika hal-hal yang hilang itu ditemukan kembali dalam suatu ikatan kesatuan lain yang baru dan suci. Bahkan, bagi mereka yang tidak dapat dipersatukan lagi dengan saudara-saudara dan teman-temannya yang biasa, maka keluarga spiritual yang terdiri dari saudara laki-laki dan perempuan akan selalu menantikannya. Namun kekuatan-kekuatan agama yang secara social nampaknya destruktif, juga dapat menjadi kekuatan-kekuatan yang bersifat kreatif dan menguntungkan.
B.  Kesimpulan
Ada tiga macam cara tradisional dimana pengalaman keagamaan memperoleh bentuk ungkapannya, yaitu dalam bentuk pemikiran, dan bentuk perbuatan, serta dalam bentuk persekutuan. Sudah barang tentu merupakan suatu kesalahan yang besar apabila memandang ungkapan dalam bentuk persekutuan sebagai suatu ungkapan yang dapat atau tidak dapat ditambahkan pada ungkapan kepercayaan dan kultus. Ketiga ungkapan tersebut adalah sama-sama penting bahkan ungkapan yang bersifat intelektual dan nyata (praktis) dapat menarik arti yang sebenarnya hanya dalam konteks masyarakat. Mite dan doktrin adalah penegasan dalam bentuk pemikiran mengenai apa yang telah di hayati dalam menghadap Realitas yang Mutlak. Kultus adalah pernuatan ibadat dan pelayanan yang timbul dari keberhadapan ini. Kedua-duanya memberikan arah dan memutuskan masyarakat yang telah dipersatukan dalam pengalaman keagamaan yang khusus. Sementara masyarakat memelihara, mempertajam, dan mengembangkan ungkapan pengalaman keagamaannya dalam bentuk pemikiran dan perbuatan serta persekutuan.
 DAFTAR PUSTAKA
Wach, Joachim, Ilmu Perbandingan Agama, inti dan bentuk pengalaman keagamaan  (Jakarta. Rajawali Pers; 1984)
Durkheim, Emile, The Elementary Forms of The Religious Life, (Jogjakarta; IRCiSoD; 2011)
L. Pals, Daniel, Seven Theories of Religion, (Jogjakarta; Qalam 2001)
Smith, Cantwell, Wilfred, Kitab Suci Agama-Agama, (Bandung; Teraju, MIZAN Distributor;2005)



[1] Emile Durkheim, The Elementary Forms of The Religious Life, (Djogjakarta, IRCiSoD, 2011), hlm, 48.

[2] Joseph M Kitagawa, Ilmu Perbandingan Agama Inti dan Bentuk Pengalaman Keagamaan Jochim Wach (rajawali pers, Jakarta 1984) sebuah pengantar.

[3] Diambil dalam sebuah pengantar J. M. Kitagawa dalam buku ilmu perbandingan agama.

[4] Ibid

[5] Pititpierre, The Romance of the Mandelssohn, halaman 97-98

[6] Lihat Wach, Das Problem des Todes in der Philoshopie unserer Zeit.

[7] Wach, der Erlosungsgedanke und seine Deutung.

[8] William James, The Varieties of Religious Experience, dalam brosur Sociologi of Religious

[9] Wach, “The Christian Professor”(diterbitkan oleh World Student Christian Federation, University Commission, Desember 10, 1947)

[10] Wach, Religionswissenschaft, Bab IV.

[11] Wach, Religion Experience, halaman 14.

[12] Kitagawa, “Theology and the Science of Religion,” Anglican Theologycal Review, Vol.XXXIX (januari 1957)

[13] Wach, Religious Experience, halaman 229-30.

[14] Ibid, halaman 228

[15] Ibid, HlMn 47

[16] Lihat Tillich, Systematic Theology, I, 215f, untuk pandangan Tillich mengenai pemikran Otto tentang Yang Suci.

[17] Wach, Ilmu Perbandingan Agama, (Rajawali Pers,1984, Jakarta) halaman 40

[18] Wach Type of Religious Experience, Halaman 32-35

[19] Joachim Wach Inti dan Bentuk Pengalaman Keagamaan, halaman 44.

[20] Joachim Wach Inti dan Bentuk Pengalaman Keagamaan, hlm 48

[21] Lihat analisa genomenologis yang menarik oleh Bubge tentang “The Moment of Obligation in Experience” Jurnal religion.

[22] Wach, Ilmu Perbandingan Agama, (Jakarta, Rajawali Pers) hlman 58

[23] Ibid hlm 58

[24] Webb, The Historical Element in Religion, Halaman 27. Dalam buku Wach halaman 85.

[25] Joachim Wach, Ilmu perbandingan Agama, (Jakarta; Rajawali Pers 1984), halaman 91

[26] Ibid halaman 95

[27] Ibid halaman 95

[28] Webb, God and Personality, halaman 264.

[29] Ibid halaman 98

[30] Ibid halaman 104

[31] Wach, Ilmu Perbandingan Agama. Halaman 147

[32] Ibid halaman 152

[33] Ibid 195

[34] Loewe, dalam ERE, XII, 806.

[35] Joachim Wach, Ilmu Perbandingan Agama. Halaman 186

[36] Ibid halaman 188.

[37] Lihat Wach, Meister and Junger, dalam buku ilmu perbandingan agama. Halaman 196


Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More