PKD PMII KOMISARIAT UIN SGD BANDUNG

Pelatihan Kader Dasar Pergerakan mahasiswa Islam Indonesia Komisariat UIN SGD BANDUNG

Pendidikan dan Pelatihan Jurnalistik

Pendidikan dan Pelatihan Jurnalistik oleh Lembaga Pengembangan Pers dan Jurnalistik Pergerakan Islam Indonesia Komisariat UIN SGD BANDUNG, baca selengkapnya

Kabar Rayon

Bagi sahabat-sahabat Rayon Komisariat UIN SGD Bandung yang ingin mengirimkan tulisan, salam, ktirik dan saran ataupun sekedar Publikasi kegiatan bisa post informasi di blog ini. Selengkapnya...

Photo-photo Aksi

Tangan terkepal..dan Maju ke muka, LAWAN!!!

Kebersamaan Warga Pergerakan

Photo bareng panitia dan peserta saat berlangsungnya acara Pelatihan Kader Dasar PMII Komisariat UIN SGD Bandung
Tampilkan postingan dengan label Rayon Adab Dan Humaniora. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rayon Adab Dan Humaniora. Tampilkan semua postingan

Rabu, 08 Desember 2010

Mao Zedong dan Strategi kebudayaan


Nampaknya dunia pergerakan hari ini memerlukan strategi yang lain. Selain jalan menuju revolusi yang seakan takkan pernah “mati”, mungkin bagi mereka para kaum tertindas. Adapun yang tertindas secara ideology, ekonomi maupun kebudayaan. Saya tiba-tiba ingat bahwa ketika revolusi Cina (Tiongkok) di sana terdapat satu nama yang tak bisa kita singkirkan dari sekian banyak penganut ideology Marxis, yaitu seorang yang berjuang untuk revolusi tetapi tentunya dengan startegi kebudayaan.

Oleh karena itu, saya akan mencoba menuliskan sedikit tentang Mao Zedong dan startegi kebudayaan tepatnya dari karya puisi Mao Zedong meski tidak keseluruhan tentang biografinya. tetapi semoga ini menjadi inspirasi bagi sahabat-sahabat pergerakan yang hari ini memang masih membutuhkan “revolusi”, pada organisasinya ataupun keadaan hari ini.

Mao Zedong adalah seorang aktivis, politisi, ideolog, panglima perang dan pimpinan besar revolusi yang namanya sangat terkenal di dunia. Memang Mao selain sebagai tokoh yang besar  dia  juga seorang penyair, seperti halnya saya pernah membaca bahwa Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir atau Tan Malaka, juga banyak menulis puisi pada masa mudanya..

             Di sisi inilah, Mao Zedong, seperti juga Bung Karno, Bung Hatta, Sjahril atau Tan Malaka, selain politisi mereka juga penikmat kesusastraan yang serius. Dalam buku yang edisi Indonesia-nya berjudul Kebudayaan, Negara dan Pembebasan, banyak sekali esei maupun pidato Mao yang berkaitan langsung dengan kesusastraan, bahkan ia menganggap bahwa kesusastraan bagian yang tak terpisahkan dari strategi kebudayaannya. Ini menunjukan bahwa sebagai politisi atau pemimpin partai ia mempunyai perhatian yang sangat besar pada kesusastraan khususnya, dan pada kebudayaan umumnya. Sesuatu yang alpa atau tidak dimiliki oleh kebanyakan aktivis, politisi atau pimpinan partai kita masa kini. Bahkan kebanyakan aktivis, politisi atau pemimpin partai kita sekarang cenderung menyepelekan kesusastraan dan kebudayaan.

            Apakah Mao Zedong menuliskan ajaran atau dokrinnya lewat puisi? Ternyata tidak demikian. Puisi-puisi yang ditulis Mao tak berbeda jauh dengan apa yang ditulis Tu Fu atau Li Po di masa lalu, bahkan ia sengaja mengambil bentuk-bentuk tradisional sebagai penghormatan pada kesusastraan klasik yang telah memberinya banyak inspirasi dalam mewujudkan Tiongkok modern. Seperti halnya Tu Fu atau Li Po, Mao juga banyak mengungkapkan kekagumannnya terhadap alam sehingga puisi-puisinya terasa liris dan merdu.

Meskipun hampir setiap puisinya Mao banyak menemukan frasa atau metafor tentang daun, bunga, pohon, sungai, pantai, salju, gunung, langit, bulan atau semacamnya, yang ditulis dengan penuh kekhusyukan. 

Dengan demikian yang pertama-tama ditulis Mao jelas puisi, bukan slogan atau jargon. Jika kemudian banyak pengamat mengaitkannya dengan realisme sosial atau realisme revolusioner semata karena metafor-metafor yang digunakannya menyediakan makna ganda yang bebas ditafsir menjadi apa saja. Yang pertama-tama ditulis Mao tetaplah karya seni, dan karya seni yang berhasil akan memberi inspirasi atau pengaruh pada hal-hal di luar seni, termasuk politik di dalamnya.

            Di samping kemampuannya menggambarkan alam secara memukau, Mao Zedong juga banyak mengungkapkan kehidupan rakyat kecil di pedesaan dengan cara yang sangat menyentuh. Sejumlah mitologi, dongeng atau nyanyian dolanan Tiongkok juga diangkatnya menjadi puisi. Pergaulannya dengan berbagai lapisan masyarakat serta jalinan persahabatan dengan mereka kerap diungkapkan pula dalam puisi-puisinya. Begitu juga peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Tiongkok, baik sebelum maupun sesudah revolusi. Hanya saja apapun tema yang ditulis Mao spiritnya tetaplah puisi, tetaplah karya seni. Bukan slogan atau jargon.  Saya ingin mengutip Nyanyian Kodok, salah satu puisi liris Mao Zedong yang ditulis dalam bentuk tradisional qi gu:

 duduk sendiri di kolam bagai harimau bertahta,
semedi di bawah teduh pohon hijau,
musim semi tiba dan tidak duluan aku berkata,
maka binatang mana berani-berani buka suara.

            Terlepas karya seorang aktivis, politisi, ideolog, panglima perang dan pimpinan besar revolusi Tiongkok yang bernama Mao Zedong ini selayaknya mendapat apresiasi dari kita semua. Selain akan memperkaya khazanah kesusastraan Indonesia, puisi-puisi yang tergolong langka ini juga diharapkan bisa memberikan pencerahan bagi para aktivis dan politisi kita yang kebanyakan sangat jauh dari atmosfir kesusastraan, bahkan cenderung menyepelekannya. mungkin ini dalam perenungannya tentang sebuah negara ideal, Plato mengajukan syarat bagi para calon pemimpin negara untuk terlebih dahulu ditatar tentang apresiasi seni, khususnya yang menyangkut hakikat puisi.

Bahwa di tengah carut marut kehidupan sosial dan politik kita, di tengah kebuntuan berpikir yang membuat kita selalu terperosok pada lubang yang sama, di tengah kebingungan kolektif yang membuat kita harus mengulang terus kesalahan yang itu-itu juga, sesungguhnya karya sastra bisa menjadi inspirasi.


Pungkit Wijaya, Ketua LP2J Rayon Fakultas Adab dan Humaniora Kom UIN SDG Cab. Kota Bandung.

Seputar Rayon Adad Dan Humaniora


Facebook : 

Pmii Rayon Adab

Tulisan :

-Belenggu moral demokrasi mahasiswa

-Mao Zedong dan Strategi kebudayaan  

Belenggu moral demokrasi mahasiswa

Perguruan tinggi masih di pandang sebagai institusi independen sehingga banyak harapan akan adanya pemikiran pemikiran baru tentang ke-indonesian, maupun keilmuan yang di hasilkan oleh institusi ini sebagai bagian civitas akademika, mahasiswa diharapkan mampu membarikan gagasan dan ide-ide ke indonesian dimana kampus adalah sebagai miniatur sebuah negara yang dimana adanya pemerintahan atau birokrasi dan masyarakat didalam nya dan bebagai elemen ormanisasi intra maupun extra berada di dalam nya.

Berangkat dari beberapa dari pernyataan bahwa mahasiswa sebagai agent sosial of change and agen sosial of control istilah ini di lontarkan saat era 80 an saat rezim orde baru menguasi negara kita dan gerakan mahasiswa yang massive untuk menggagas sebuah revolusi di negeri ini dan mulai menyerukan tentang sebuah demokrasi, dewasa ini agent sosial of cehange and of control sudah tercerabut dari paradigma mahasiswa sendiri setelah NKK (normalisasi kehidupan kampus) dan BKK(badan keorganisasian kampus) masih belum mengefektifkan dan karena kapitalisme global merubah segala aspek kehidupan masyarakat kampus karena mahasiswa sekarang masih banyak yang tidak mengetahui dan tidak sadar akan hakikat nya sebagai mahasiswa.

Bahwasanya pengertian mahasiswa adalah sekelompok orang atau pemuda yang menunutut ilmu di suatu perguruan tinggi yang mempunyai tridarma perguruan tinggi yang mana salah satunya bertujuan pengabdian kepada masyarakat, meneurut pandangan ben anderson dalam buku revolusi pemuda, peran pemuda sangat besar dalam menetukan masa depan sebuah bangsa. Sangat berat sekali peran pemuda dalam memperjuangkan tonggak perubahan di dalam sebuah bangsa dan itu pun mungkin masih berkolerasi dengan pernyataan agent sosial of change atau pun of chontrol, berkaca pada sejarah dulu pemuda sangat erat hubunya dengan kemerdekaan 1945 bahwa gerakan sumpah pemuda dan boedi utomo perjuanganya mungkin perlu ditiru oleh pemuda atau mahasiswa sekarang dan disesuaikan dengan konteks modernisasi lalu menjadi landasan epistemologi.

Sosok soe hok gie yang telah mati muda meninggalkan sosok pigur yang idealis dalam ranah mahasiswa yang patut menjadi contoh, situasi perpolotikan nya tidak jauh beda dengan sekarang. bagaimana dia merekam dalam catatan harianya dan sudah menjadi sebuah buku seluruh peristiwa yang terjadi disekitar tahun 1960 sampai dia meninggal sekitar tahun 1970 an, situasi kondisi politik antara militerisme dan komunis sangat panas dan kondisi masyarakat semakin parah karena setelah kemerdekaan sebagai cita-cita seluruh bangsa indonesia masih jauh dari keinginan dikarenakan rakyat masih carut marut.

 Zaman soekarno pejuang negara kita yang menjabat dipemerintahan adalah orang yang dibesarkan zaman hindia belanda yaitu Soekarno, Hatta dan Syahrir yang dalam perjuangan nya mereka selalu memberikan perlawanan yang keras terhadap pemerintahan hindia belanda tetapi berbeda konteks ketika menjadi pejabat pemerintahan soekarno tentunya sangat ingin mengamankan kekuasannya dengan berbagai cara ketika gencar nya komunis Aidit sebagai komunis sangat dekat dengan soekarno karena sang presiden indonesia itu mengaman situasi politiknya,demokrasi terpimpin sebagai jargon pada waktu itu hanya sebagai kepentingan saja padahal ketika seseorang mengkritik pemerintah melalui media atau pun dengan konspirasi mereka akan ditahan atau dipenjarakan demokrasi terpimpin pun masih membelenggu antara mahasiswa dan rakyat untuk berbicara dan sampai pada waktu itu gerakan mahasiswa yang tergabung dari beberapa organ mahasiswa yang tergabung kedalam KAMI (kesatuan aksi mahasiswa) seluruh indonesia bergabung bersama rakyat turun aksi kejalan dengan menyuarakan Tritura tiga tuntutan rakyat yaitu turunkan soekarno, turunkan harga dan hapuskan nya komunis di indonesia. rezim seokarno pun turun dan PKI pun dihapuskan tapi tetap perbutan kekuasaan militerisme soeharto yang memenangkan pemilu seperti sama saja malahan lebih parah dengan masih membelenggu demokrasi mahasiswa yang pada waktu itu semua dialrang untuk berbicara atau mengkritk sewang-wenangan, banyak pejuang setelah kejadian G 30 spki ini yang diculik dan dibunuh oleh pemerintahan soeharto karena dirasa membahayakan pemerintahan dan pejabat nya pun tak jauh dari orang orang yang dibesarkan dari zaman soekarno dan rezim soeharto pun runtuh kembali oleh gerakan mahasiswa yang mana pada waktu 1998 seluruh mahasiswa turun kembali kejalan untuk menurunkan soeharto setelah merumuskan beberapa tahun untuk menurunkan rezim soeharto ini situasi yang harus menelan korban jiwa dari mahasiswa.

Peran serta mahasiswa sebagai aktivis dan agent of control pemerintahan masih dilanjutkan dengan ada dari beberapa mereka yang masuk kedalam ranah politik hingga menjabat di pemerintahan dari pemerintahan gusdur( abdurahman Wahid), Megawati dan sampai sekarang SBY, liat saja pertarungan perpolitikan antara mahaiswa dan militerisme masih sangat kuat dalam wajah orde baru sampai sekarang, pejabat kemarin dan sekarang semuanya adalah yang dibesarkan zaman orde baru yang mereka ketika dulu masih idealis untuk membela bangsa dan negara kita tetapi liat sekarang setelah mereka menjabat jadi anggota pemerintahan malah memperkaya diri sendiri dan demokrasi masih menjadi jargon yang khas disuarakan oleh mereka.

Seluruh anggota DPR sekarang yang menjabat mereka yang mulanya berasal dari mahasiswa atau mungkin dari beberapa organ kemhasiswaan yang ada di indonesia, tapi kenyataan membuktikan mereka seakan tidak menunjukan bahwa dia pernah menjadi orang yang idealis untuk mementingkan kepentingan rakyat yang mana dulu diantara mereka pernah turun aksi kejalan yang menyuarakan tentang perubahan, tetapi yang lebih parah lagi ketika mereka sebagai mahasiswa nya yang tak pernah tau akan nasib rakyat sekarang menjadi anggota pemerintahan lebih parah lagi karena sejak dia mahaiswa hedonis dan apatis sekarang harus bagaimana menjadi pejuang rakyat, uotput yang dihasilkan atau pun proses mereka saat menjadi mahasiswa masih terbelenggu apalagi sekarang yang masih terbelenggu juga.

Dewasa ini bapak demokrasi atau mantan prsiden Abdurrahman Wahid pernah mengatakan bahwa anggota DPR seperti taman kanak-kanak analogi yang nyata dimana mereka tak ayalnya seperti taman kanak-kanak yang dimana ketika sidang selalu ricuh seperti tak pernah belajar sidang saja sewaktu mereka berada dalam perguruan tinggi atau dalam mencari gelar sarjana, sebab kebanyakan anggota pemerintahan sekarang rata-rata telah bergelar S1 atau pun S2 kebanyakan dari mereka mencalonkan diri dalam sebuah partai. Yang tak patut ditiru oleh generasi sekrang yang sebagai mahasiswa ataupun siswa etika di persidangan kemarin sewaktu membahas century pun dari kata-kata kasar keluar hingga saling cerca pun menjadi suasana yang biasa terdengar oleh masyarakat kita diseluruh indonesia layaknya orang yang tidak mengerti dengan moral dan etika.

Kepentingan golongan masih mencuat dalam konstalasi perpolotikan kita di indonesia dari mulai pemerintahan yang berkoalisi pun tidak menghiraukan tentang perjanjian mereka karena kepentingan golongan harus dipentingkan, dari beberapa partai yang ada di indonesia hingga yang menjabat sebagai pemimpin karena mereka berasal dari golongan tertentu maka mereka harus mementingkan golongan nya sendiri tetapi aspirasi rakyat dan nasibnya sudah tak lagi dipentingkan begitu pula dengan gerakan mahasiswa yang selalu menyuarakan tentang rakyat mereka pun selalu di tunggangi kepentingan politik dari golongan mereka sendiri yang mana organ mereka sendiri masih eksis dalam mengawal negeri ini tetapi kepentingan politik selalu menunggangi aspirasi rakyat kita, lihat saja seakan mereka selalu menjadi garda terdepan dalam mengawal demokrasi dan menyuarakan aspirasi rakyat atau pun kepentingan golongan mereka dan sekarang sangat susah sekali mencari aktivis kemahasiswaan yang murni tanpa ada embel-embel apapun masih membela aspirasi masyarakat seperti kisah perjuangan soe hok gie.

sebenarnya moral yang membelenggu selama ini dan harus segera diperbaiki agar lepas dari belenggu nya sebab setiap lapisan mahasiswa, pejabat pemerintahan maupun masyarakat selalu mengatasnamakan gerakan moral yang idiomnya salah satu katanya demokrasi dengan berbagai kepentingan individu maupun kelompok. Belenggu yang meliputi, belenggu moral dalam perspektif Teologis yang mengikat relasi manusia dengan Tuhan dalam menjalankan hukum agama dan kewajiban sebagai seorang hamba, individu tidak mampu keluar dari penilaian dosa dan pahala. Yang kedua, belenggu dalam perspektif norma yang mengikat hubungan antar individu dan masyarakat individu tidak mampu keluar dari penilaian masyarakat terhadap perilaku, maka moral sebenarnya adalah sistem nilai yang berlaku universal bagi individu bukan komunitas(gerakan). Dan menjadi alat mekanisme kontrol atas perilaku individu dalam menjalankan kehidupannya bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More