Rabu, 08 Desember 2010

Mao Zedong dan Strategi kebudayaan


Nampaknya dunia pergerakan hari ini memerlukan strategi yang lain. Selain jalan menuju revolusi yang seakan takkan pernah “mati”, mungkin bagi mereka para kaum tertindas. Adapun yang tertindas secara ideology, ekonomi maupun kebudayaan. Saya tiba-tiba ingat bahwa ketika revolusi Cina (Tiongkok) di sana terdapat satu nama yang tak bisa kita singkirkan dari sekian banyak penganut ideology Marxis, yaitu seorang yang berjuang untuk revolusi tetapi tentunya dengan startegi kebudayaan.

Oleh karena itu, saya akan mencoba menuliskan sedikit tentang Mao Zedong dan startegi kebudayaan tepatnya dari karya puisi Mao Zedong meski tidak keseluruhan tentang biografinya. tetapi semoga ini menjadi inspirasi bagi sahabat-sahabat pergerakan yang hari ini memang masih membutuhkan “revolusi”, pada organisasinya ataupun keadaan hari ini.

Mao Zedong adalah seorang aktivis, politisi, ideolog, panglima perang dan pimpinan besar revolusi yang namanya sangat terkenal di dunia. Memang Mao selain sebagai tokoh yang besar  dia  juga seorang penyair, seperti halnya saya pernah membaca bahwa Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir atau Tan Malaka, juga banyak menulis puisi pada masa mudanya..

             Di sisi inilah, Mao Zedong, seperti juga Bung Karno, Bung Hatta, Sjahril atau Tan Malaka, selain politisi mereka juga penikmat kesusastraan yang serius. Dalam buku yang edisi Indonesia-nya berjudul Kebudayaan, Negara dan Pembebasan, banyak sekali esei maupun pidato Mao yang berkaitan langsung dengan kesusastraan, bahkan ia menganggap bahwa kesusastraan bagian yang tak terpisahkan dari strategi kebudayaannya. Ini menunjukan bahwa sebagai politisi atau pemimpin partai ia mempunyai perhatian yang sangat besar pada kesusastraan khususnya, dan pada kebudayaan umumnya. Sesuatu yang alpa atau tidak dimiliki oleh kebanyakan aktivis, politisi atau pimpinan partai kita masa kini. Bahkan kebanyakan aktivis, politisi atau pemimpin partai kita sekarang cenderung menyepelekan kesusastraan dan kebudayaan.

            Apakah Mao Zedong menuliskan ajaran atau dokrinnya lewat puisi? Ternyata tidak demikian. Puisi-puisi yang ditulis Mao tak berbeda jauh dengan apa yang ditulis Tu Fu atau Li Po di masa lalu, bahkan ia sengaja mengambil bentuk-bentuk tradisional sebagai penghormatan pada kesusastraan klasik yang telah memberinya banyak inspirasi dalam mewujudkan Tiongkok modern. Seperti halnya Tu Fu atau Li Po, Mao juga banyak mengungkapkan kekagumannnya terhadap alam sehingga puisi-puisinya terasa liris dan merdu.

Meskipun hampir setiap puisinya Mao banyak menemukan frasa atau metafor tentang daun, bunga, pohon, sungai, pantai, salju, gunung, langit, bulan atau semacamnya, yang ditulis dengan penuh kekhusyukan. 

Dengan demikian yang pertama-tama ditulis Mao jelas puisi, bukan slogan atau jargon. Jika kemudian banyak pengamat mengaitkannya dengan realisme sosial atau realisme revolusioner semata karena metafor-metafor yang digunakannya menyediakan makna ganda yang bebas ditafsir menjadi apa saja. Yang pertama-tama ditulis Mao tetaplah karya seni, dan karya seni yang berhasil akan memberi inspirasi atau pengaruh pada hal-hal di luar seni, termasuk politik di dalamnya.

            Di samping kemampuannya menggambarkan alam secara memukau, Mao Zedong juga banyak mengungkapkan kehidupan rakyat kecil di pedesaan dengan cara yang sangat menyentuh. Sejumlah mitologi, dongeng atau nyanyian dolanan Tiongkok juga diangkatnya menjadi puisi. Pergaulannya dengan berbagai lapisan masyarakat serta jalinan persahabatan dengan mereka kerap diungkapkan pula dalam puisi-puisinya. Begitu juga peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah Tiongkok, baik sebelum maupun sesudah revolusi. Hanya saja apapun tema yang ditulis Mao spiritnya tetaplah puisi, tetaplah karya seni. Bukan slogan atau jargon.  Saya ingin mengutip Nyanyian Kodok, salah satu puisi liris Mao Zedong yang ditulis dalam bentuk tradisional qi gu:

 duduk sendiri di kolam bagai harimau bertahta,
semedi di bawah teduh pohon hijau,
musim semi tiba dan tidak duluan aku berkata,
maka binatang mana berani-berani buka suara.

            Terlepas karya seorang aktivis, politisi, ideolog, panglima perang dan pimpinan besar revolusi Tiongkok yang bernama Mao Zedong ini selayaknya mendapat apresiasi dari kita semua. Selain akan memperkaya khazanah kesusastraan Indonesia, puisi-puisi yang tergolong langka ini juga diharapkan bisa memberikan pencerahan bagi para aktivis dan politisi kita yang kebanyakan sangat jauh dari atmosfir kesusastraan, bahkan cenderung menyepelekannya. mungkin ini dalam perenungannya tentang sebuah negara ideal, Plato mengajukan syarat bagi para calon pemimpin negara untuk terlebih dahulu ditatar tentang apresiasi seni, khususnya yang menyangkut hakikat puisi.

Bahwa di tengah carut marut kehidupan sosial dan politik kita, di tengah kebuntuan berpikir yang membuat kita selalu terperosok pada lubang yang sama, di tengah kebingungan kolektif yang membuat kita harus mengulang terus kesalahan yang itu-itu juga, sesungguhnya karya sastra bisa menjadi inspirasi.


Pungkit Wijaya, Ketua LP2J Rayon Fakultas Adab dan Humaniora Kom UIN SDG Cab. Kota Bandung.

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More