Jumat, 23 Desember 2011

Antara Sastra Dan Warta

Konon, dahulu kala ketika zaman jahiliyyah, ketika sastra lisan mendominasi kehidupan di Arab, seorang sastrawan begitu disegani, bahkan ditakuti masyarakat. Bagaimana tidak, dahulu ketika seorang penyair mulai tidak menyukai seseorang atau bahkan ada yang mau melawannya, maka ia pun akan menelanjangi orang tersebut dengan syair-syairnya.

Dengan kondisi seperti itu, para penyair otomatis mempunyai kekuatan tak kasat mata namun mampu memberika efek terror yang sifnifikan kepada masyarakat. Hal tersebut bahkan dapat dikategorikan kepada suatu istilah yang disebut dengan tindak kekerasan simbolik. Sepertihalnya yang diungkapkan Bourdieu, bahwa ada sebuah tindak kekerasan yang halus dan tak tampak, yang disembunyikan dibalik pemaksaan dominasi, yang kemudian ia sebut dengan istilah Kekerasan symbolik.

Sebaliknya, kepada orang yang ia senangi, seorang penyair akan memberikan pujian setinggi langit. Dan otomatis –karena sastra lisan digandrungi pada masa itu- seluruh pelosok negeri pun akan mengetahui track record seseorang yang dipuji dalam syair penyair tersebut.

Bagaimana dengan hari ini, masih adakah sosok yang ditakuti dan disegani bahkan oleh para individu tingkat level masyarakat yang lebih tinggi seperti halnya penjabat atau publik figur pada umumnya. Dan jika ada, tak lain dia adalah PERS. Banyak individu yang disegani, dihormati masyarakat umum, namun tak berkutik jika ia sudah bergerak. Banyak orang berhutang budi padanya, dengan intensitas pemberitaan yang ia lakukan sehingga membuat seseorang tenar. Namun, ada juga yang begitu mengecamnya karena pemberitaan yang mengakibatkan namanya kotor, dan mendapatkan blacklist dari masyarakat.

Kita mengetahui, seseorang mampu dikenal karena pemberitaannya. Jika ada pertanyaan siapa Penjabat terbaik hari ini? Siapa aktor favorit anda? Siapa penyanyi terbaik menurut anda? Saya yakin sebagian besar jawaban anda bereferensikan terhadap pemberitaan yang ada di pers. Karena pers mampu menimbulkan opini publik yang efektif dengan pemberitaan yang bersifat redudansi (pengulangan/berulang).

Namun hal tersebut bisa berjalan sebaliknya. Sebut saja kasus pemberitaan pernikahan kedua (poligami) Abdullah Gymnastiar (Aa Gym) yang mengejutkan masyarakat. Bukan saja masyarakat umum yang heboh membicarakan pernikahan kedua dai kondang ini, tapi pemerintah sampai merasa harus merevisi undang-undang pernikahan. Dan seketika pamor ulama yang biasa disapa Aa Gym ini anjlok karena pemberitaan tersebut. Atau bisa kita telaah bagaimana kasus skandal seks yang menimpa mantan presiden amerika, Bill Clinton, yang di blow up media yang mengakibatkan goyangnya pemerintahan yang ia emban saat itu, dan diduga pemberitaan tersebut bersumber pada lawan politiknya di parlemen amerika.

Itulah dia, dia adalah pers. Yang memberikan angin segar, namun tak jarang memberikan kabar tak sedap yang ditujukan kepada individu. Tak mengenal siapa, tak mengenal apa. Sejatinya pers adalah ruang kejujuran bagi masyarakat. Yang bebas dari distorsi-distorsi komunikasi, dan terbebas dari manipulasi opini yang ditujukan kepada publik.

Baca juga Artikel ini di
http://prosesberfikir.blogspot.com/2011/10/antara-sastra-dan-warta.html

0 komentar:

Posting Komentar

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More